adult thing: episode terakhir

Mulai dari awal
                                    

Tapi tiba-tiba ujan deres dan gue cukup tau Kongpob kalo dia bakal jadi cowok tolol yang tetep nungguin gue sambil ujan-ujanan sampe besoknya bakal kena paru-paru basah.

Jadi dengan payung gede yang masih ada merk produk (mantan) tempat kerja gue, gue keluar mobil dan lari kecil ke arahnya.

"Lo masih tetep baik sih, parah," itu kalimat pertama dia waktu dia sadar kalau air hujan nggak lagi kena badannya. Dia bahkan belum balik badan; gue masih di belakang dia, nggak siap buat liat matanya.

Fun fact: gue suka banget sama matanya. Lo pernah nggak sih kayak liat mata seseorang terus ngerasa... tenggelam saking dalemnya? Gitu deh.

Dia akhirnya balik badan. Rambutnya udah setengah basah; gue harap dia inget buat keringin badan nanti ketika udah sampe rumah. Dia nggak berusaha cari mata gue yang masih sibuk ngeliatin sepatu.

Eh mau sombong dikit; sepatu gue Air Jordan limited edition.

"Mau pindah tempat?" tanyanya.

"Nggak usah," jawab gue sejudes yang bisa orang lakuin ketika lagi nahan kangen, "gue cuma bentar."

"Oke." Kongpob menerima penolakan gue tanpa ekspresi sakit hati. Lalu dia ngambil payung dari tangan gue dan mencondongkan ke arah gue, mastiin kalo even ujung sepatu gue nggak kena air.

Gue berusaha mengabaikan sikap gentleman kampretnya itu dan memulai lagi, "lo mau ngomong apa?"

Kongpob terdiam sebentar sebelum memulai, "gue adalah cowok paling tolol sedunia. Lo nggak pantes dapet orang sebangsat gue. Jadi gue mau minta maaf."

Gue terdiam.

"Semua perlakuan keluarga gue ke elo, itu semua bukan karena lo yang kurang. Lo nggak pernah kurang, Kak Arthit. We're sick in the head dan seharusnya ini semua nggak cost the wellbeing of you. Lo pantes dapet cinta dan gue harap lo bakal ketemu orang yang bener-bener bisa jagain lo, nggak kayak gue.

"Dan soal Wad sama yang lain, gue udah jelasin ke mereka semuanya. Mungkin setelah ini hp lo bakal penuh sama notifikasi mereka minta maaf, tapi lo berhak buat nggak bales. Lo berhak buat milih diem. Sama kayak lo sekarang yang berhak buat nggak maafin gue ataupun dateng ke sini. Gue makasih banyak karena lo masih mau."

"Jelasin ke mereka," gue bergumam, "soal apa?"

"Soal betapa brengseknya keluarga gue dan gimana kita ngehancurin lo," Kongpob menambahkan hati-hati, "soal foto itu."

"You don't have to."

"Of course I have to, Kak Arthit, we shouldn't have judged you by false assumption in the first place."

Gue nggak tau kudu jawab apa, jadi gue diem lagi.

"Dan soal keluarga," Kongpob mengeluarkan sebuah kartu dari sakunya, "ini kartu nama pengacara pribadi nyokap gue. Dia bakal bantuin lo kalo lo mau bikin tuntutan ke kita atas pencemaran nama baik."

Mata gue langsung melebar, "lo gila?!"

"I'm 100% sure." Kongpob nggak pernah keliatan seserius ini, "gue udah kumpulin bukti-buktinya dan udah gue kasih ke dia juga. Gue juga punya copy-nya kalo lo mau. Tenang aja, pengacara ini nggak pernah ada hubungannya sama oma. Nyokap cari pengacara ini emang buat lo."

"M-maksud lo—?"

"Kalau ada orang yang lebih nyesel daripada gue atas semua insiden ini, itu nyokap," dari sakunya lagi Kongpob mengeluarkan ponsel yang gue kenali, "gue kemaren beres-beres kamar nyokap buat cari bukti terus nemu hp ini. Kocak nggak sih, mobil mereka ringsek parah tapi hp ini nggak lecet sama sekali? Dianggurin dua taun tapi pas gue charge ternyata masih nyala bahkan masih bisa gue pake main PUBG?"

kepoin orang pacaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang