Chapter 13

2.6K 418 37
                                    

Vote dulu ya???











Memacu cepat kuda besinya, Ohm meninggalkan Nanon dan Billkin yang menyuguh tanya. Pun jua Plustor yang babak belur dibuatnya.

Kalut, pikirannya semerawut, Ohm putuskan bukan apartment kumuhnya yang jadi tujuan. Sedikit menjauhi ramai kota di area kampus, sebuah bangunan serba putih yang sempat jadi naungan dipilih jadi tujuan.

Menapak lobby bangunan, napas Ohm bagai terhenti sebentar. Isi kepalanya seolah terdistraksi ingatan lama. Bagaimana perawat dan dokter berseliweran, bagaimana ia meraung memecahkan setiap kaca yang ia temukan, serta bagaimana ia berusaha sembuh demi masa depan.

Makin melangkah jauh, makin terlempar ingatan Ohm pada tahun yang semakin lampau. Sakit, kepalanya memutar memori acak. Bau obat yang sama, bau menguar ketika ibunya yang berkulit pucat dan rambut tergerai mendekati ia dan Dew kecil yang tengah bermain di halaman.

Seingat Ohm saat itu usianya kurang lebih empat tahun. Beberapa bulan sebelum akhirnya Ibunya meninggal. Waktu di mana ia mulai paham, sosok Ibu yang selama ini ia miliki hanyalah label tanpa aksi.

"Ohm.."

Deg.

Pundaknya ditepuk dari belakang. Mengaburkan lamunan yang mengorek luka lebih dalam. Ohm berbalik badan.

"Dokter Lee.." sapanya pada lelaki ramah yang dua tahun lalu merawatnya di rumah sakit ini.

Sang dokter tersenyum. Berjalan di depan menuntun Ohm ke arah ruangannya. Mengobrol di lorong seperti ini tak akan nyaman dengan beberapa orang gangguan jiwa bolak-balik berseliweran.

"Kok tumben ke sini. Ada apa?" Tanya dokter Lee setelah mereka sampai di ruangan.

Ohm tersenyum kecil. "Nengokin dokter. Boleh kan?"

"Yakin? Nggak ada alasan lain?" Bagaimanapun merawat Ohm di masa terendahnya cukup membuat sang dokter mengenal jauh si bocah berandal.

"Ck. Sok tau dok. Tapi emang saya punya pertanyaan sih, ah lebih tepatnya pernyataan." Ohm menatap tengil dengan sorot angkuh andalan.

"Soal?"

"Dokter bohong kan sama saya? Sebenernya saya nggak bisa sembuh kan dok??"

Dokter Lee menatap ke adah kaca jendela yang menampakkan hijau taman rumah sakit jiwa. Mengawang, mengingat bagaimana dulu Ohm yang ia kenal di awal.

"Dua taun lalu kamu dianter ke sini dalam keadaan kacau, Ohm. Marah, kesal, sedih, semua emosi kamu muncul nggak beraturan. Dan Papa kamu bilang, kamu begitu setelah kematian adikmu."

"....."

"Tapi pada akhirnya setelah proses lama kamu bisa keluar dari sini kan? Karena apa?"

"..aku.. sembuh?" Tebak Ohm.

Sang dokter mengulas senyuman kecil. "Lebih tepat disebut 'bisa mengendalikan diri' ketimbang sembuh. Penyakit kamu bukan tentang fisik, Ohm. Bukan luka yang bisa sembuh setelah dijejal obat."

"Maksud dokter? Ah, ok ok saya paham. Jiwa saya memang rusak kan? Hahaha." Tawa sarkas yang pernah Lee dengar dua tahun lalu kembali mengisi telinga.

"Ohm, jujur sama saya. Apa kamu masih menganggap kalau kamu-lah yang membunuh Dew?"

".........."








....








Hari baru kembali datang. Riuh kampus akan aktivitas mahasiswa kembali jadi santapan mata. Menyusur tepi lapangan bola, Ohm merangkul akbrab sahabat karibnya. Kembali memasang topeng andalan yang selalu ia kenakan kala di depan orang-orang.

ARES (OhmNanon)Where stories live. Discover now