Ia lalu menyodorkan segelas air putih untukku. Aku meraih dan meminumnya, tetapi disaat aku sedang minum, Bima berbisik ditelingaku.

"Kamu, tersedak karena nasinya apa karena aku panggil sayang?" ujarnya dengan suara yang sangat pelan didekat telingaku.

Lantas setelah aku selesai minum, aku berniat untuk menjahilinya juga.

Pelan-pelan aku dekatkan wajahku kepadanya dengan tatapan tajam dan senyuman yang kubuat semanis mungkin. Aku semakin memainkan senyumku dan kutaruh telapak tanganku di pipinya.

"Sayang," ujarku selembut mungkin. Aku melihat wajahnya tiba-tiba memerah dan matanya yang kulihat sedang salah tingkah, di dalam hati, aku bersorak dengan keras.

"Kamu mau ngapain?" tanyanya dengan nada cemas.

Lalu aku edarkan lagi tanganku ke daun telinganya, dan sesaat kemudian...

"Aaaaa Nairaaaaaaa, Sakit!" Aku menjewernya dengan keras.

Aku terbahak, merasa menang kali ini dengan Bima, sepuas itu menjahilinya. Ia masih mengusap-usap daun telinganya yang memerah sambil memanyunkan bibirnya. Aku hanya terkekeh geli.

"Mangkanya jangan usil, gak enak 'kan diusilin balik." Bima tidak menjawab, ia hanya memandangku dengan sangat kesal. Seperti ada tanduk merah yang tiba-tiba muncul dikepala Bima, ahaha selucu itu.

"Aku mau kerja dulu, ya." kataku seraya berdiri, ia masih memandangku kesal.

"Oh ya. Bayarin ya, sayang. " kataku sambil tersenyum dan pergi darinya. Tanpa sadar, Bima telah mengubah suasana hatiku menjadi baik kembali.

"Naira! Aku gak bawa uang!" ujarnya berteriak, namun aku tidak memedulikannya, aku tetap melanjutkan jalanku kemudian berlari. Aku yakin, dia sedang mendengus kesal disana. Sesenang itu menjahilinya.

***

Aku kini tengah menjalani rutinitasku sebagai editor, aku mengedit naskah yang telah Nayla pilihkan kemarin. Naskah-naskah itu memiliki tenggat waktu yang masih lama, Nayla sengaja memilihkannya untukku agar aku tidak payah melembur dan sengaja melembur. Ibu dan Nayla kini sangat memperhatikanku. Nayla sering membawa bekal makan siang untukku dan apabila waktu sudah menunjukkan jam lima sore, aku harus pulang-karena jika tidak, Nayla pasti akan mengomeliku lagi. Mau tidak mau, aku harus menurutinya dan pulang tepat waktu.

Setelah kufikir-fikir, selama ini-aku memang bekerja secara tak normal-yang banyak orang bilang dengan sebutan 'toxic', awalnya aku tidak menyadari, tetapi ketika Nayla mengomeliku kemarin, barulah aku sadar bahwa yang aku lakukan selama ini adalah salah. Aku terus menerus menambah jam kerjaku sesuai kemauan sendiri, setiap hari aku memaksa untuk pulang larut malam, hanya karena aku ingin menghindari ruang yang nyatanya tak lagi utuh, setiap kali aku pulang ke rumah, ingatan tentang ayah selalu saja datang dan kehampaan itu selalu saja menemani. Ruang yang dulunya banyak canda tawa, kini hilang ditelan kesunyian. Sepi selalu menyapaku tiap kali pulang ke rumah. Aku tau, seharusnya tidak begini, tak seharusnya aku menjadikan ketidakutuhanku sebagai boomerang dan tidak seharusnya aku melampiaskan kemarahanku yang berujung menyiksa diri.

Aku telah bersalah kepada diri sendiri.

"Naira, makan." ujar Nayla seraya membuka satu persatu rantang yang ia bawa.

"Kamu yang masak?"

Nayla menggeleng, "Beli, Ra."

"Enak gak tuh? Gak mau makan kalo gak enak,"

Nayla memelototiku, "Dicoba dulu, gak usah banyak alasan, mau enak, mau gak enak, pokoknya makan, gak ada alasan."

"Iya, iya."

BARA [END]Where stories live. Discover now