Kesepuluh : (arti) Setia (yang sesungguhnya)

24 8 12
                                    

Jumlah kata : 878 kata Dreamlights_utkan pengguna

↕️
↕️
✍️

Kembali cerah, seperti itulah gambaran dunia di mata Theana. Ia senang, akhirnya sang kakak bisa kembali tersenyum, meski Thadya kerap menyembunyikannya.

"Kak, Kakak ngerasa ngga, Kak Dya kayaknya lebih galak, sekarang," ujar Thea sesampainya mereka di kediaman orangtua Abbreyaz.

Abbreyaz menahan tawa mendengar curhatan Thea. Iyas tak bisa menampik, jika Dya memang jauh lebih tegas dari sebelumnya. "Mungkin sedang dalam periode."

"Menurut Thea, sih, bukan itu alasannya."

Benar saja, baru beberapa menit mereka tiba dan berkumpul di ruang tamu, Dya pun membuka suara, "Pap, Mam, izinin Dya untuk tinggal di sini."

Patra terhenyak mendapati permintaan sang putri. Berbeda dengan Liana yang sudah menduga, bahwa Thadya enggan untuk ikut pulang bersama mereka.

"Kakak mau tinggal di mana?" tanya Patra mencoba tenang.

"Nanti Dya bisa kos atau––"

Widya yang membawa minum dan beberapa kue pun mengusulkan, "Biar Dya di sini saja. Kamar tamu kosong, kok, ngga ada yang nempatin."

"Oke, ngga papa."

Usai bersepakat menitipkan Dya pada Widya, sore harinya, Patra dan Liana juga Thea memutuskan untuk kembali ke Jakarta.

Tidak turut sertanya Dya pulang kembali ke Jakarta, membuat Anzel bertekad untuk mendatangi dan bertemu dengan Dya secara langsung. Tak lupa ia menanyakan alamat tempat tinggal Thadya.

Dek, bisa minta alamat Kak Dya
21:00

Maaf, Kak! Kenapa ngga tanya langsung aja.
21:12

Tak perlu berlama-lama, Anzel langsung mengirimi Dya pesan, dan berharap gadis tersebut akan langsung membalasnya.

Bisa kita bicara, Dy?
21:41

Sesuai harapannya, Thadya  langsung membalas pesan yang ia kirimkan.

Iya
21:46

"

Selamat malam, Dy," sapa suara dari seberang sana.

"Malam."

"Kamu kapan pulang? Aku mau ngajakin kamu liburan bareng."

"Maaf, Zel. Aku masih belum tau, kapan akan kembali ke Jakarta."

"Ada apa? Apa kamu akan menetap di sana?"

"Mungkin."

"Dy, ada yang aku pengen omongin. Aku ...."

"Maaf, Anzel. Sekali lagi aku minta maaf, karena melibatkanmu dalam permasalahanku."

"Kamu ngomong apa, Dy?"

"Aku ngga akan pernah bisa membuka hati untukmu atau orang lain, Zel. Pemilik hatiku cuma satu, dan dia sudah kembali."

"...."

"Halo, Zel ... Anzel ...."

Mendengar ucapan Dya, Anzel hancur luar biasa, ia pun tak sanggup untuk menyudahi telepon yang masih tersambung. Dalam hatinya, ia sudah berharap, bahkan berangan-angan tentang hari esok bersama Thadya.

🍃🍃🍃

Hampir sepekan di rumah Widya, kegiatan Thadya tak lepas dari sisi Abbreyaz. Entah menemani terapi, berbincang sekadarnya, atau mengisi berkas-berkas Iyas yang akan segera menempati tempat dinas baru.

Mulanya perbincangan mereka biasa saja, hingga Abbreyaz mulai menyinggung tentang masa pemulihannya.

Dya masih ingin bertarung dengan egonya, mengkonfrontasi. "Kenapa ngga ngasi tau dari awal?"

Sementara itu, Iyas hanya menatap belahan jiwanya dengan sesekali mengulas senyum.

"Oh, atau Kak Iyas punya pandangan lain?"

"Pandangan apa?"

"Mau cari ganti, mungkin. Perawat, Dokter, atau rekan seprofesi Kakak, bisa aja, 'kan?! Menurut hasil pengamatan, tujuh puluh persen jodohnya tentara itu yang pake jas putih, asistennya, atau--"

Abbreyaz yang sudah gemas dengan Thadya, membungkam ocehan tersebut dengan menjentikkan jarinya pada kening sang kekasih.

"Aduh!"

"Kebanyakan nge-riset jodoh orang kamu, Dek. Lama-lama saya sita akun media sosial-mu,"

"Sakit tau, Kak!" ujar Dya sembari menggosokkan jemari pada keningnya.
"Dya 'kan cuma berasumsi, masa ngga boleh?"

"Itu bukan asumsi, Dek. Tapi, tuduhan!" putus Iyas.

"Le, kamu apakan Dya?" tanya Widya yang datang dengan tergopoh-gopoh menuju teras samping.

"Ini, mantunya Ibuk mulai kumat. Over thinking-nya ngga ketulungan!" beber Iyas setengah kesal.

Widya mencoba menengahi. "Apalagi yang kalian perdebatkan to, Nduk?"

"Dya 'kan cuma pengen penjelasan, Buk. Kenapa Kak Iyas setega itu, sampe minta papa jodohin Dya sama orang lain ...."

"Le?"

"Nanti, Buk. Nanti setelah Dek Dya bisa lebih tenang, Iyas akan cerita semuanya."

Usai sholat Dzuhur, Abbreyaz menepati janjinya. Perlahan Iyas mulai bercerita, bermula dari pos jaga yang diserang kelompok bersenjata, perlawanan yang dilakukan, jatuh dari tebing, pertolongan dari warga sekitar yang pertama kali menemukannya, hingga proses evakuasi panjang yang membawanya kembali ke Solo.

"Jadi, tujuh bulan yang Kakak udah balik ke sini?" tanya Dya.

Iyas menghela napas sejenak. "Sudah. Tapi, dengan kondisi yang tidak bisa apa-apa. Dokter menyatakan saya lumpuh, Dek."

Air mata Dya mulai mengalir dengan sendirinya. "Kenapa ngga langsung ngabarin?"

"Melihat kondisi saya, rasa percaya diri itu lenyap entah kemana?! Saya ragu, kamu akan tetap bersama saya."

Mendengar penuturan Iyas, emosi Dya kembali tersulut. "Ya Tuhan! Sebego itu Dya di mata Kakak. Dya--"

"Kamu tidak tau, Dek, seberapa takutnya saya saat itu. Takut kamu diam-diam bersama yang lain. Takut kamu menemani karena kasihan atau hanya sekedar empati."

Dya terdiam. Jika seperti yang diceritakan, maka sakit dan luka ini bukan hanya miliknya seorang. Namun, milik mereka berdua.

"Maka dari itu, lima bulan yang lalu saat papa mengunjungi saya--"

"Jadi, papa juga tau, kalo Kak Iyas masih hidup?!" potong Dya.

Abbreyaz mengangguk. "Saya yang melarang beliau untuk memberitahumu. Dan ... saya juga yang mengusulkan untuk menjodohkanmu dengan orang lain, Dek."

"Boleh Dya tebak, Kak?"

"Boleh."

"Kakak jadi punya semangat lagi 'kan, waktu denger Dya mau kenalan sama mereka."

"Kamu benar, Dek. Rasanya saat itu juga saya ingin sembuh dan segera terbang untuk memastikan, seperti apa laki-laki yang sedang dekat denganmu."

"Nyatanya, Dya ngga terkecoh 'tuh sama akal-akalannya Kak Iyas," ujar Dya dengan penuh keyakinan.

Iyas tersenyum. "Maaf atas keputusan sepihak yang menyakitimu, Dek."

Pada akhirnya, Dya merasa lega. Penantian yang selama ini dijalaninya bersama keyakinan yang tak pernah goyah, mempertemukan kembali dirinya dengan sang belahan jiwa.

.
.
.
22:42 — 22:43

In MomentoWhere stories live. Discover now