Kedua : (se)Dingin (pagi)

26 10 2
                                    

Jumlah kata : 830 kata Dreamlights_

↕️
↕️
✍️

     Petrikor masih berjejak bersamaan dengan kumandang adzan yang mulai menyapa indera pendengaran, bersiap membawa kembali ruh dari alam mimpi. Dya yang memang sudah terjaga sejak dua jam yang lalu, tampak menunduk larut dalam pikirnya. Kejadian beberapa minggu sebelumnya di rumah Uti Hutomo, terus saja menari lincah bagai garis lurus dengan kondisi orangtuanya saat ini.

     Sebenarnya, bukan tanpa sebab ia terusik. Semua bermula sejak tiga malam yang lalu. Kala itu, rasa haus yang tiba-tiba saja mendera membuat Dya terbangun pada larut malam, lalu memutuskan untuk mengambil minum di lantai bawah.

     Sejak membuka pintu kamar, samar-samar ia mendengar dialog antara orangtuanya, "Tumben jam segini belum istirahat," batin Dya usai melihat jam pada ponsel yang digenggamnya menunjukkan pukul 00:23.

     Mendekati anak tangga terbawah, suara mereka semakin jelas. Semula Dya tak berniat menguping, hingga dalam percakapan tersebut sang ayah mengemukakan keinginan yang menyangkut dirinya.

     "Apa sebaiknya kita mulai mengenalkan Kakak sama anak temen-temen Papa ya, Ma?"

     "Maksudnya, Papa mau ngejodohin Kakak, gitu?!"

     Patra Harsono mencoba tenang menanggapi lonjakan emosi sang istri. "Bukan ngejodohin Mam, hanya sekadar berkenalan. Kakak bisa nambah temen, memperluas pergaulan, syukur-syukur kalo ada jodoh."

     "Cck ... sama aja namanya, Papa. Ujung-ujungnya, Papa ngga ada beda sama mereka."

     "Lho, lho ... masa Papa disamain sama keluarga Mama. Ya, jelas beda. Tapi, kita ngga bisa memungkiri seusia Kaka memang sudah sewajarnya untuk berumahtangga, Mam."

     "Nah, kan! Bener, 'kan yang Mama bilang," tuding Liana "Papa sama aja! Ini pasti karena Papa denger 'kan omongan orang-orang di luaran sana yang bilang, 'anak kita ngga laku', 'jauh jodoh', 'perawan tua'–"

     "Mam!" bentak Patra.

     "Apa Pap?! Memang bener 'kan apa yang Mama bilang. Papa 'tuh lebih peduli sama ocehan-ocehan yang ngga bertanggungjawab. Papa udah ngga say–"

     "Mam, bisa dengerin penjelasan Papa dulu, 'kan?" sela Patra.

     "Ngga! Papa yang harus dengerin Mama. Pap ... buat Mama, Kakak ngga gila aja, Mama sangat bersyukur sekali. Mama yang ngandung Thadya, bawa dia ke mana-mana, melahirkan, ngejaga, semua Mama lakuin sendiri. Jadi Mama tau gimana perasaannya. Sekalipun tidak ada yang berubah dari sikapnya sama kita, bukan berarti dia tidak luka. Thadya terguncang, Pap!"

     Kalo Papa masih ngotot mau ngenalin Kakak sama cowok-cowok itu, silakan. Tapi, jangan salahkan Mama kalo sikap Thadya akan berubah sama seperti sikapnya ke orang lain."

     Liana tak bisa lagi menahan amarahnya. Usai mengeluarkan isi hatinya, ia beranjak meninggalkan sang suami yang masih terduduk di ruang keluarga.

     Sementara itu, Dya yang masih berada di tempat persembunyiannya, merasa bersalah karena telah menjadi penyebab pertikaian orangtuanya. "Apa yang harus kulakukan Tuhan?" ratapnya.

     Keesokan paginya, hawa rumah itu pun berubah, kendati Liana berusaha bersikap biasa saja di depan kedua putrinya. Lain halnya saat ia hanya berdua dengan Patra. Ia akan bungkam, meski seluruh kewajiban tetap dilakukannya.

     "Sstt, sstt ... Kak," panggil Thea pada Dya setengah berbisik.

     "Pasangan romantis sepanjang abad kenapa?" tanya Thea, "kayaknya ada yang ngga beres. Perlu diberesin kali, ya?!"

     Dya yang mulai menangkap sinyal jahil sang adik pun memperingatkannya. "Jangan buat keributan, Dek, suasana lagi ngga kondusif."

     "Ouw, oke. Kita ambil lajur aman," putusnya sembari menarik tanganku ke arah dapur untuk membereskan peralatan makan.

🌅🌅🌅

     Kemarin pun masih saja sama. Nuansa berkabut setia melingkupi keharmonisan hubungan Patra dan Liana. Tidak ada adu mulut, juga tak ada pergerakan. Entah apa yang sama-sama tengah mereka pikirkan.

     "Hmm ... menurut Kakak, kalo Thea minta sesuatu sama Allah pasti langsung dikabulin, ngga?"

    Patra dan sang istri serentak mengalihkan pandangan kepada Thea, yang semula hanya menikmati sarapan dalam diam, kini nampak merespon pertanyaan si bungsu.

    "Emangnya Adek lagi pengen apa?" tanya Patra.

    "Eh, Papa. Kapan dateng, Pap? Thea pengen makan bareng," ungkap Thea sembari tersenyum jahil.

     Liana yang paham dengan sifat putrinya berusaha menegur, "Adek!"

     "Lho, ada Mama juga? Kirain dari kemaren yang di rumah cuma Thea sama Kakak. Ngga nyangka, ih, Allah ngabulin do'a Thea cepet banget!" serunya tanpa dosa.

     "Alhamdulillah, terima kasih Ya Allah," ungkap Thea sembari menyapukan kedua telapak tangannya ke wajah.

     Dya hanya tersenyum menanggapi kelakuan sang adik. Baginya, kehadiran Thea dua puluh tahun silam, menjadi hiburan tersendiri. Sementara itu Patra dan Liana yang baru tertawa bersama, kini kembali hening.

     "Yah, diem-dieman lagi. Lama-lama kita berubah jadi beruang karena rumah kita bersalju."

     "Ada-ada aja kamu, Dek. Abisin makanannya," perintah Liana.

     "Siap, Mama."

     Akhirnya, sarapan pun usai. Sesaat sebelum beranjak dari meja makan. "Pap, Mam." Thadya mencegah Patra dan Liana berlalu dari tempat duduknya.

     "Ada apa, Kak?" Patra bertanya-tanya dengan gelagat sang putri.

    "Sebelumnya Dya minta maaf, sudah buat Papa sama Mama jadi seperti ini."

     "Maksud Kakak apa?" tanya Patra.

     "Dya tau, Pap. Papa sama Mama sedang tidak baik-baik saja. Dya tau. Dya denger semuanya."

     "Kak, maafin Papa–"

     "Ngga. Papa ngga salah." Thadya  mengambil napas sejenak guna menetralisir degup jantungnya.

     "Kapan Papa akan ngenalin anak temen papa sama Dya?"

     "Kakak ...." Air mata Liana mulai mengambang. Ia sadar, berat bagi Thadya melakukan ini. Namun, keputusan sudah diambil sepenuhnya oleh sang putri.

     Ya, setelah berpikir panjang, Dya akan mengikuti keinginan ayahnya. Ia pasrah, jika memang harus bertemu jodohnya melalui sebuah perjodohan.

.
.
.
11.01.2021 — 21:23

In MomentoOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz