Part 10

78 10 1
                                    

Tanisha merasa bersyukur karena memiliki tetangga yang baik hati. mereka tahu bahwa Tanisha hanya memiliki sang nenek. Dan begitupun sebaliknya. Dengan baiknya, mereka menawarkan diri untuk menjaga neneknya selama Tanisha pergi bekerja.

Namun meskipun begitu, Tanisha tidak bisa menghilangkan kekhawatirannya dari kondisi sang nenek. Neneknya juga sudah terbangun. Meskipun Tanisha ingin marah kepadanya karena sudah merahasiakan semua ini darinya, namun melihat kesakitan di wajah sang Nenek. Tanisha menjadi tidak tega. Alhasil dia malah membalik keadaan dengan bertanya bagaimana perasaan sang nenek kala itu.

Dokter juga mengatakan bahwa pilihan yang bisa diambil Tanisha mengenai kondisi neneknya hanyalah operasi. "Pengangkatan sel kanker yang ada di tubuh Ibu Balqis menjadi satu-satunya jalan yang bisa kita lakukan saat ini. Selanjutnya kita akan melihat, apakah setelah diberikan resep kondisi nenek Anda bisa menjadi lebih baik atau tidak. sekiranya nenek Anda bisa kuat menahan, kita bisa melanjutkan penyembuhan dengan proses kemoterapi. Tapi untuk itu, mengingat usia nenek Anda. Saya benar-benar tidak bisa menyarankannya." Ujar dokter yang menangani neneknya.

"Operasi? Berapa kemungkinan berhasilnya?" Tanisha takut. Seperti kata dokter tadi, neneknya itu sudah berumur dan proses pemulihan bagi orang-orang seusia neneknya tidaklah memakan waktu sebentar karena proses metabolism dan regenerasi dalam tubuhnya tidak seaktif anak muda.

"Lima puluh persen. Maaf sebelumnya jika saya mengatakan ini. Tapi kondisi terburuknya, nenek Anda bisa saja meninggal di meja operasi." Jawab dokter itu lagi.

"Me-meninggal? Maksud Dokter?"

"Operasi untuk pasien seusia nenek Anda itu termasuk rentan. Kemungkinan terjadinya perubahan tekanan darah pasien pada saat operasi itu juga menjadi salah satu penyebab sukses atau tidaknya operasi. Saya hanya memberikan kemungkinan terburuknya saja. Tentu saja saya dan tim akan melakukan semua yang terbaik semampu kami. Tapi kami kembalikan semuanya pada doa dan takdir dari Yang Maha Kuasa."

Dan sekarang, Tanisha hanya bisa memandang neneknya yang sedang tertidur.

Beliau sudah dipindahkan ke ruang rawat biasa. Dan Tanisha merasa sangat bersalah karena tidak bisa memberikan perawatan yang terbaik bagi neneknya. Jika saja kondisi mereka...

Tanisha seketika menggelengkan kepala. Bagaimana bisa dia memikirkan ayahnya di saat seperti ini? Apa yang harus dia lakukan sekarang? Ia sudah mengajukan pinjaman pada pihak perusahaan untuk membantu biaya operasi neneknya yang tidak sedikit. Dan perusahaan pun belum tentu akan mencairkan seluruh dana yang dibutuhkan oleh Tanisha. Karena system mereka akan mencairkan pinjaman sesuai dengan simpanan koperasi yang selama ini Tanisha simpan.

Tanisha merasa tidak punya pilihan lain. Tapi setidaknya ia bisa mencoba. Lima belas tahun, tidak ada salahnya dia meminta ayahnya untuk membantunya bukan?

Tanisha lagi-lagi meminta bantuan rekannya untuk menggantikan jadwal kerjanya. Entah rekannya itu benar-benar ikhlas atau keberatan, saat ini Tanisha tidak terlalu memedulikannya. Dia hanya ingin neneknya selamat, dan semua kenekatan ini dia lakukan.

Tanisha tidak berani mengendarai motornya sendiri. ia memilih menggunakan kendaraan umum untuk pergi ke kota dimana ayahnya tinggal. Berharap selama lima belas tahun ayahnya masih tinggal di tempat tinggal mereka yang lama.

Tiga jam perjalanan—karena Tanisha menggunakan kendaraan umum yang banyak menaik-turunkan penumpang—akhirnya Tanisha bisa sampai di depan rumah keluarganya. Rumah itu jelas jauh berbeda dibandingkan saat Tanisha kecil dulu. Lebih megah dan lebih mewah. Dengan beberapa perubahan dan penambahan bangunan di sana-sini. Seolah pemiliknya benar-benar ingin melupakan masa lalu yang mereka miliki.

Tanisha melirik jam tangannya. Pukul empat sore. Mungkinkah ayahnya sudah kembali dari kantor. Tanisha berjalan menuju tempat satpam. Dia bertanya apakah Tuan Ghassan si pemilik rumah ada. Satpam itu—jelas sekali merupakan karyawan yang baru datang setelah Tanisha pergi—memandangi Tanisha dari atas ke bawah dengan pandangan menghina.

"Ada apa mencari Tuan Ghassan? Meminta sumbangan?" tanyanya jelas dengan nada menghina.

Sumbangan? Tanisha terkekeh dalam hati. apakah meminta hak kepada ayah kandungnya bisa disebut sebagai meminta sumbangan?

"Tidak. Saya ada keperluan dengan beliau." Jawab Tanisha. Berusaha bersikap setenang mungkin.

"Tuan Ghassan tidak ada. Dia belum kembali. Kalau kamu mau menunggu, silahkan tunggu saja diluar." Ujar satpam itu lagi. Tanisha menggigit bibir bawahnya. Beginikah ia diperlakukan di rumahnya sendiri? padahal seharusnya dialah yang disanjung disini.

Jam berlalu, sudah pukul enam sore. Dua jam Tanisha menunggu namun ia tidak melihat ada satu mobil pun masuk dan keluar. Ia ingin meninggalkan tempat itu dan mencari masjid terdekat. Entahlah, mungkin nanti dia akan mencoba lagi.

Tanisha berjalan menuju tempat yang dulu ia tahu sebuah masjid berdiri. Banyak hal yang berubah juga di area tempat tinggalnya. Dulu, rumah dimana ia tinggal itu jarang sekali penduduk. Hanya ada satu atau dua rumah besar disana. Tentu saja setiap rumahnya memiliki taman indah karena mereka tinggal di area mewah. Dan sekarang, tanah itu sudah dipenuhi lebih banyak rumah yang masing-masing tak kalah besar dan mewahnya, seolah satu pemilik tengah bersaing dengan pemilik yang lainnya.

Tanisha memasuki masjid yang beruntungnya masih berdiri disana. Mungkin ia akan mencari beberapa informasi dari Jemaah yang turut beribadah disana nanti setelah kewajibannya selesai.

Setelah selesai shalat magrib, Tanisha mencoba menegur salah satu wanita lanjut usia yang kemungkinan seusia dengan neneknya. "Assalamualaikum." Tanyanya pada wanita lanjut usia itu.

Wanita itu balik menoleh dan memandang Tanisha seraya menjawab salamnya. "Waalaikumsalam. Adek siapa ya?" tanyanya dengan ramah.

"Saya Tanisha, Bu. Kebetulan saya sedang berkunjung disini." Jawabnya lagi. Wanita itu mengerutkan dahi sejenak. "Saya mau bertanya, apa kebetulan ibu mengenal Tuan Ghassan. Pemilik rumah nomor 83?" tanyanya lagi.

"Tuan Ghassan?" wanita itu kembali mengulang nama yang Tanisha sebutkan. Tanisha mengangguk. Seketika wanita itu terbelalak lebar. "Ya Allah." Serunya dengan nada tertahan dan tangan menutup mulut. "Apa benar ini kamu?" tanya wanita itu tak percaya. Giliran Tanisha yang mengerutkan dahi karena bingung. "Kamu putrinya Ibu Ilyana, iya kan? Tanisha? Yang dulu kecil punya rambut pendek model laki-laki?" tanya wanita itu lagi. Tanisha tersenyum dan kemudian mengangguk.

Wanita lanjut usia itu memeluk Tanisha erat seraya mengusap punggungnya pelan. "Ya Allah, kemana aja kamu selama ini. Berapa lama kamu pergi selama ini?" tanya wanita itu tanpa melepas pelukan di tubuh Tanisha. Tanisha sendiri sudah merasakan sesak akibat pelukan itu. Namun ia mencoba menahannya. Mungkin wanita ini salah satu wanita yang mengenalnya dan ibunya dulu. Meskipun sebenarnya Tanisha benar-benar tidak mengingat siapa wanita yang ada di hadapannya kini.

Wanita itu kemudian melepaskan pelukannya dan menatap Tanisha lagi. Memperhatikan Tanisha dari atas ke bawah. Sebuah senyum terkembang di wajahnya. "Pantas saja ibu merasa mengenal kamu. Kamu benar-benar mirip sama ibu kamu." Ujar wanita itu lirih.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 13 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

His MistressWhere stories live. Discover now