Part 9

57 9 1
                                    

"Tidak ada apa-apa, Sayang. Tapi kan, nenek ini sudah tua. Waktu nenek mungkin gak akan lama lagi. Keinginan terakhir nenek itu lihat kamu nikah. Atau bahkan kalau Allah mengijinkan, Dia memberi waktu nenek sampai nenek bisa lihat kamu lahirin buyut buat nenek."

Tanisha memandang neneknya dengan bibir cemberut. "Nenek gak boleh bilang gitu. Umur nenek itu masih panjaaaaang. Nenek bakal bisa lihat Nisha nikah trus punya anak. Masa iya nenek mau ninggalin Nisha sendirian disini." Ucapnya dengan nada memelas.

Neneknya tersenyum, kemudian merentangkan tangan dan Tanisha seketika masuk ke dalam pelukannya. "Waktu sudah lama berlalu. Nenek seharusnya minta maaf sama kamu sejak lama."

"Maaf? Maaf untuk apa?"

"Maaf karena telah menjadi nenek yang buruk. Nenek bahkan bawa kamu pergi jauh dari ayah kamu." Ucap neneknya seraya mengusap punggung Tanisha perlahan. "Kalau saja kala itu nenek menolak permintaan kakek kamu untuk pindah, mungkin saat ini kamu bisa berbaikan dengan ayah kamu dan mengenal adik kamu lebih dekat." Ujarnya lagi.

Tanisha meregangkan pelukannya dan memandang wajah sang nenek dengan senyum di wajahnya. "Gak ada yang salah. Kakek dan juga Nenek melakukan semua yang terbaik untuk Nisha. Nisha juga gak bisa menyalahkan ayah. Dan Nisha juga gak menyalahkan diri Nisha sendiri. Nisha selalu yakin bahwa semua ini memang takdir yang harus Nisha jalani. Nisha hanya bisa menerima. Dan melakukan apa yang kakek serta nenek nasihatkan. Kalau Nisha harus melakukan semuanya dengan cara yang terbaik yang bisa Nisha lakukan. Masalah penilaian di mata manusia itu terserah mereka, yang jelas Allah Maha Adil. Dia yang akan menilai kita karena kesungguhan kita. Itu kan yang selalu Kakek dan Nenek ajarkan sama Nisha." Neneknya mengangguk, meraih kedua tangan Tanisha dan menggenggamnya erat.

"Ingat pesan nenek. Kalau kejahatan tidak harus dibalas dengan kejahatan, tapi balaslah dengan kebaikan. Biarkan kejahatan orang lain Allah yang menghukumnya. Kita manusia hanya perlu berusaha sebaik-baiknya dan beribadah tanpa ingin dilihat oleh orang lain. Nisha ngerti, kan?" Tanisha mengangguk paham. Meskipun dalam hati ia masih merasa ada sesuatu yang mengganjal.

Dan ganjalan itu akhirnya ia dapatkan jawabannya tiga hari kemudian.

Tanisha pulang dari pekerjaannya dengan segera ketika mendapat telepon dari tetangganya bahwa neneknya jatuh pingsan saat sedang mengajar. Tanisha yang kebetulan mendapatkan jadwal sore segera pamit pada kedua anak buah yang menjaga toko dengan terburu-buru.

Tanisha segera pergi menuju ke rumah sakit tempat neneknya dirawat. Neneknya ternyata langsung dimasukkan ke ICU karena keadaannya yang serius. "Apa yang terjadi pada Nenek, Bu?" Tanisha memandang Bu Fatimah, tetangganya yang menghubungi Tanisha dan membawa neneknya ke rumah sakit.

"Anu..itu.." Bu Fatimah tampak ketakutan. "Nenek bilang sama Ibu supaya Ibu gak bilang apa-apa sama Nisha." Ujar wanita itu ragu-ragu.

"Bu, Nisha satu-satunya keluarga yang Nenek punya. Kalau Nisha gak tahu apa-apa, gimana Nisha bisa bantuin nenek?" tanya Nisha lirih.

Bu Fatimah tampak ragu-ragu. Tapi kemudian wanita berusia empat puluhan itu membawa Tanisha menuju salah satu lorong dan mengajaknya berbincang empat mata.

"Beberapa minggu lalu, Ibu lihat Nenek pergi ke puskesmas. Waktu itu Ibu lagi bawa Ayuni imunisasi. Waktu Ibu tanya nenek kenapa, Nenek gak jawab. Tapi kemudian tiga hari kemudiannya, Nenek kelihatan ke puskesmas lagi.

Waktu itu Ibu takut buat tanya-tanya. Tapi Nenek kelihatan cemas. Terus Ibu tanya, Nenek kenapa. Nenek bilang dia harus ke rumah sakit. Ibu bingung, ibu tanya kenapa. Nenek gak jawab apa-apa. Tapi Nenek bilang, dia nunggu kamu kerja pagi, baru nenek mau ke rumah sakit.

Ibu tanya, kenapa gak sama kamu aja perginya. Tapi Nenek bilang, takut kamunya cemas. Jadi Ibu nawarin diri buat nganterin Nenek. Maafin ibu, Nis. Ibu bukannya mau rahasiain ini dari kamu. Tapi habis dari rumah sakit, Nenek bilang supaya kamu jangan dulu dikasih tahu dulu. Karena saat itu memang laporannya belum keluar. Nenek waktu itu melakukan banyak tes. Dan Dokter bilang nenek bisa kontrol sekaligus ambil hasil tesnya seminggu kemudian.

Seminggu setelah periksa, Ibu ngajakin Nenek buat kembali ke rumah sakit. Buat ngambil hasil lab nya sekaligus control lagi." Wanita itu menunduk dengan setitik airmata di pipinya. "Dokter bilang, nenek terkena kanker usus."

Tanisha terdiam. Tidak percaya dan tidak mau percaya akan apa yang didengarnya barusan. "Ka-kanker usus?" tanyanya tak yakin.

Bu Fatimah mengangguk. "Dokter bilang seperti itu setelah hasil lab nya keluar. Waktu itu Ibu minta supaya Nenek cerita sama kamu. Tapi Nenek nolak. Dia bilang kasihan kamu. Lalu Nenek tanya-tanya apa ada cara supaya nenek bisa sembuh. Dokter bilang, di usia nenek, kemoterapi itu rentan dan lebih terasa menyakitkan. Tapi dokter menyarankan supaya Nenek dioperasi. Setidaknya itu diharapkan bisa membantu."

"Operasi?" tanyanya lagi. Bu Fatimah mengangguk. "Siapa Dokter yang bertanggung jawab? Apa dia juga dinas disini?"

Bu Fatimah mengangguk. "Ibu bawa nenek kesini karena dokternya Nenek dinas disini. Tapi tadi waktu ibu tanya ke bagian perawat, katanya dokternya baru akan datang besok."

"Apa Ibu dengar Nenek tanya-tanya soal biaya operasi?" tanya Tanisha lagi.

Bu Fatimah mengangguk. "Biayanya cukup mahal, Nis. Mungkin karena itu juga Nenek takut bilang sama kamu?" Bu Fatimah tampak memandang Tanisha ragu. Tanisha terdiam. Mereka memang bukan orang kaya. Tapi Tanisha akan mengusahakan apapun supaya neneknya bisa sembuh seperti sedia kala. Ia juga mungkin bisa meminta bantuan Toni jika memang ia perlu. Atau jika Toni tidak bisa memberikannya bantuan, Tanisha akan pergi ke tempat dimana ayahnya berada. Meskipun kemungkinannya untuk mendapatkan bantuan kecil, tapi ia harus mengusahakan setiap kemungkinan yang ada dulu sebelum menyerah.

Bu Fatimah akhirnya pamit untuk pulang. Wanita itu memiliki cucu yang harus ia jaga karena putrinya bekerja malam hari sebagai seorang pelayan di sebuah café. Tanisha hanya mengangguk dan berkali-kali mengucapkan terima kasih padanya. Atas semua pertolongan yang wanita itu berikan.

Setelahnya ia duduk sendirian di ruang ICU. Hanya ada dua pasien yang menghuni ICU itu. Satu, neneknya. Dan satunya adalah seorang pasien pria yang kondisinya tampak lebih parah dari neneknya.

"Itu Neneknya adek?" tanya wanita yang menunggui si pasien pria. Tanisha mengangkat kepala, tersenyum kemudian mengangguk. "Sakit apa?" Tanyanya penuh perhatian.

"Saya belum tahu jelas, Bu. Dokter bilang kanker usus."

"Innalillahi..." wajah wanita terlihat terkejut. Lantas kemudian tampak iba. "Sabar ya, semoga neneknya kuat dan bisa bertahan. Sudah tahu stadium berapa?" tanyanya lagi.

Tanisha menggelengkan kepala. "Saya belum bertemu sama dokternya, Bu. Katanya dokternya baru akan datang besok." Lagi-lagi wanita itu mengangguk.

"Saya gak bisa bilang apa-apa. Tapi saya Cuma memberi saran. Buat adek yang jagain Nenek, jangan ikut bersedih ataupun merasa gundah. Orang sakit sudah merasa down lebih dulu. Kita yang menjaga mereka harus memberikan semangat supaya mereka juga menjadi lebih semangat melakukan pengobatan. Sebelum kita menyarankan pasien untuk sembuh, kita harus lebih dulu memiliki pikiran yang sehat dan harus lebih optimis."

Tanisha hanya mengangguk. Tentu saja ia harus optimis. Jika bukan dirinya yang menyemangati neneknya, siapa lagi

His MistressWhere stories live. Discover now