Part 1 - Pembunuh

148 16 0
                                    

"Kau itu pembunuh!" Suara itu berdengung di kepalanya. Suara penuh kebencian yang disematkan padanya. "Kau itu hanya anak pembawa sial!

"Kalau bukan karenamu, ibumu tidak akan mati sia-sia." Telunjuk ramping itu terus menerus menekan dahinya. "Dan lihat saja, sebentar lagi ayahmu juga akan membuangmu. Kenapa? Karena melihatmu berarti melihat pembunuh wanita yang dicintainya."

Tanisha menggelengkan kepalanya keras. "Tidak. Aku bukan pembunuh."

Wanita itu, dan anaknya hanya mendengus. "Kalau kau bukan pembunuh, seharusnya ibumu ada disini saat ini. Tapi mana? Dia sekarang tertimbun di bawah tanah. Sendirian, kedinginan. Semuanya karena siapa? Tentu saja karenamu. Karena kebodohanmu. Ibumu, ma.ti. kau dengar itu? Mati."

Tanisha lagi-lagi menggelengkan kepala.

"Mati.. mati...mati..."

"Pembunuh. Pembawa sial."

Suara itu terus menggema di kepala Tanisha. Ia terus menggelengkan kepalanya dan berusaha menghilangkan suara-suara yang mengisi kepalanya. "Nisha, Sayang." Sebuah suara memanggilnya. Tanisha begitu ingin pergi dari suara-suara yang menakutinya itu. "Tanisha, Sayang. Bangunlah." Suara lembut itu kembali memanggilnya.

"Pembawa sial! Kau hanya anak pembawa sial! Ibumu mati karenamu!"

"Nisha, Sayang. Ayo buka matamu." Dan sesuatu yang dingin benar-benar menariknya kembali ke kenyataan. Tanisha membuka mata, melihat neneknya sedang menatapnya dengan matanya yang berubah kelabu karena faktor usia. "Kamu bermimpi, Sayang. Ayo berdoa." Ucapnya dengan lembut. Selembut usapan tangannya di puncak kepala Tanisha yang berkeringat.

Tanisha bangkit dan memeluk wanita tua itu dengan sangat erat. Sang nenek hanya bisa balas memeluknya seraya mengusap kepala dan punggung Tanisha pelan. "Kamu mimpi buruk lagi?" Tanya sang nenek dengan suara lembutnya yang begitu Tanisha sukai.

Bukannya menjawab, Tanisha malah terisak dipelukan sang nenek. "Semua itu hanya mimpi, Sayang. Kamu cucuk nenek, bukan pembunuh. Bukan pembawa sial." Lanjutnya lagi. "Jika ada yang seharusnya membencimu dan menuduhmu pembunuh, orang itu seharusnya adalah nenek. Bukan mereka.

Neneklah orang yang sudah melahirkan ibumu dengan mempertaruhkan kehidupan Nenek. Neneklah yang sudah menyusuinya selama dua tahun. Nenek yang menyuapinya, memandikannya, membiayainya sekolah dan nenek juga yang menikahkannya.

Neneklah yang banyak berkorban demi ibumu. Bukan mereka. Neneklah yang banyak kehilangan. Bukan ayahmu. Nenek mengenal ibumu selama tiga puluh dua tahun. Sementara ayahmu? Jika ada yang merasa kehilangan, Neneklah orang yang paling merasa kehilangan. Dan jika ada orang yang harus mencaci dan membencimu. Maka Neneklah orang yang paling berhak melakukannya. Karena disini Neneklah yang kehilangan separuh jiwa Nenek.

Tapi Nenek tidak melakukannya. Kau tahu kenapa?" Wanita itu mengangkat kepala Tanisha supaya Tanisha memandangnya. "Karena Nenek tahu apa itu yang namanya takdir. Sementara mereka, mereka itu hanyalah orang-orang bodoh. Kamu, Tanisha Zaina, cucu kesayangan Nenek, bukanlah seorang pembunuh. Kamu bukan pembawa sial." Nyonya Balqis memeluk tubuh mungil cucunya semakin erat.

Mereka orang bodoh itu tidak tahu bahwa kehidupan seseorang, kebahagiaannya, kesedihannya dan bahkan kematiannya sudah digariskan sebelum manusia-manusia itu lahir ke muka bumi. Bahkan sebelum Allah meniupkan ruh Mama mu di perut Nenek, Allah sudah menggariskan kapan ia akan meninggal dan bagaimana jalannya.

Dan mereka yang mengatakan bahwa kamu pembunuh dan pembawa sial. Sebenarnya mereka hanya orang-orang sempit hati yang tidak bisa menerima kenyataan dengan baik. Jadi, Sayang." Nyonya Balqis kembali mendongakkan wajah cucunya. "Lupakan apa yang mereka katakan. Hilangkan semua mimpi buruk itu. Kau adalah cucu terbaik yang nenek punya. Anak terbaik yang pernah anak Nenek lahirkan."

Tanisha memandang neneknya dengan mata berkabut karena airmata. "Tapi...Kalau saja.. waktu itu.." ucapnya disela isakannya.

Nyonya Balqis menggelengkan kepalanya. "Apa yang terjadi waktu itu, memang sudah suratannya seperti itu. Bukan karenamu. Tapi karena Allah sudah menakdirkannya bagi kita. Bagi kamu. Bagi mendiang mamamu." Jawab Nyonya Balqis dengan tegas.

Tanisha mengusap matanya dengan kasar. "Ayah..benci.. Nisha, Nek."

Nyonya Balqis kembali meraih tubuh mungil Tanisha ke dalam pelukannya. Tubuh kecil itu terisak dalam pelukan sang nenek. Tiga tahun sudah berlalu sejak kematian ibunya. Dan dua tahun sudah berlalu sejak bocah kecil itu diusir dari rumahnya sendiri oleh ayah kandungnya sendiri. Miris, melihat seorang bocah berusia delapan tahun yang tidak mengetahui apa-apa harus menerima kebencian seorang pria dewasa sehingga membuatnya terusir dari rumah yang seharusnya menjadi tempat dimana ia mendapatkan perlindungan dan kasih sayang.

Nyonya Balqis hanya bisa memeluk erat cucu semata wayangnya dan mengusap punggung kurus bocah itu untuk sedikit memberikan ketenangan setelah mimpi buruknya.

"Biarkan ayahmu membencimu. Tapi jangan sampai Nisha juga membenci Ayah. Yakinlah bahwa suatu saat nanti, Allah akan membukakan jalan supaya Ayah Nisha sadar akan kesalahannya.

Suatu saat nanti Nisha akan menyadari alasan dibalik kenapa Ayah Nisha melakukan semua ini. Nenek tidak akan mengatakan bahwa apa yang dilakukannya benar, karena jelas itu sangat salah. Tapi apa yang dirasakan Ayahmu adalah, dia terlalu mencintai Mama mu. Dan sebenarnya yang dibencinya saat ini adalah dirinya sendiri. Bukan Nisha.

Ayahmu tidak membencimu. Tapi dia terlalu mencintai Mama Nisha sehingga melihat wajah Nisha ia merasa kesulitan. Kenapa? Karena Nisha sangat cantik, dan sangat mirip dengan Mama Ilyana." Tanisha kembali mendongak dan melihat neneknya menunduk dengan airmata yang jatuh menetes di pipinya. "Melihatmu membuat Ayahmu tidak bisa melupakan Mama mu. Kamu terlalu cantik, bahkan saat Ilyana seusiamu, dia tidak secantik kamu." Nyonya Balqis mengusap wajah cucunya dengan lembut. Ada senyum bahagia terpancar di wajahnya yang mulai berkeriput. Tanisha juga bisa melihat bulir air mata kembali jatuh di mata kelabunya.

"Ayahmu hanya terlalu bodoh untuk menyadari kalau semua ini takdir. Dan wanita itu terlalu pintar sehingga ia bisa memanipulasi ayahmu. Tapi ingatlah, kita menuai apa yang kita tanam. Selalu ingat kata nenek. Biarkan Allah membalas semua kejahatan yang orang lakukan kepada kita dengan cara-Nya. Karena Dia akan memberikan kita balasan akan kesabaran kita dengan cara-Nya.

Nisha hanya perlu mendoakan kebaikan untuk mereka. Minta kepada Allah supaya Dia membukakan mata hati mereka dan membuat mereka kembali pada kebenaran." Nasihat sang Nenek seraya mengusap rambut dan punggung Tanisha pelan.

Tanisha hanya terdiam. "Jadilah selalu anak yang baik dan rajinlah beribadah. Usaha tak akan mengkhianati hasil. Dan doa adalah jalan pintas bagi kita berkomunikasi dengan Sang Maha Pemilik. Jangan tinggalkan ibadah. Jangan lupa bersyukur. Jika kita berbuat baik tapi mendapat keburukan, itu berarti Allah sedang menguji kesabaran kita. Ketakwaan kita.

Jangan pernah berburuk sangka. Karena itu hanya akan merusak hati kita. Selalulah bersikap ramah dan sopan pada siapapun. Tapi jangan lengah."

Tanisha hanya bisa menganggukkan kepala dalam pelukan sang nenek. Sementara itu, tubuh sang nenek mengayunnya dalam diam. "Ingatlah bahwa mendiang mamamu menyayangimu dan mencintaimu. Ingatlah bahwa ada nenek dan kakek yang juga akan menjagamu. Doakan nenek dan kakek supaya kami panjang umur dan bisa hidup sampai kamu dewasa. Doakan juga ibumu supaya Allah menempatkannya di tempat terbaiknya. Doakan ayahmu supaya ia terbuka mata hatinya. Doakan kebahagiaan untuk dirimu sendiri.

Nenek selalu berdoa semoga kau menjadi cucu yang salihah, bergelimang rejeki dan banyak dicintai. Menjadi orang yang baik memang tidak selamanya membuatmu bahagia. Tapi percayalah, kelak Allah akan membalas kebaikan kita. Jika tidak di dunia ini, maka masih ada dunia sana yang akan kita tinggali kelak."

His MistressWhere stories live. Discover now