XLII. Sejauh Mungkin

Start from the beginning
                                    

"Kapan, dih!"


"Itu, dih! Waktu Kakak ama Pipi pergi beli tobuki!"


"Aniya! Kakak tidak bilang sama Pipi, dih!"


"Uda, eey! Kata Pipi nanti Pipi bilang ama Mimi terus nanti bikinnya ama Hae juga, dih!"


Jeno mencibir. "Kalau Kakak sudah bilang sama Pipi, pasti Pipi ingat."


"Dih! Kakak ud—"


"Mau sampai kapan bertengkarnya, hm? Sampai subuh sekalian, jangan tanggung-tanggung, oke?" sela Jaemin seraya bangkit berdiri. "Mimi mau tidur sama Hae. Kakak sama Pipi bertengkar saja terus, tugasnya jangan dikerjakan."


Dengan ini, Jaemin ngeloyor pergi ke kamar. Meninggalkan Jeno dan Jisung yang saling beradu tatapan dengan mata yang sama menyipit tajam.


"Hh... Kakak capeee..." keluh Jisung seraya menyeka tangannya dengan lap kering.


"Heeee... ini tugasnya siapa?"


"Kakak."


"Terus? Kenapa Pipi yang kerjain?"


"Ang! Kakak capeeee, Piiii..."


"Pipi juga capek."


"TERUSIN AJA BERANTEMNYA SAMPAI LEBARAN MONYET!"









📙









Keesokan harinya,


Hari ini Jeno libur. Jika biasanya dia menghabiskan hari kemerdekaannya ini dengan balas tidur sepuasnya, maka kali ini ia tidak sabar menantikan waktu menjemput Jisung.


Ya, karena hari ini, ia memiliki rencana yang sudah dibuatnya dari jauh-jauh hari. Rencana yang timbul setelah bertemu dengan sahabat karibnya, Park Jihoon, tempo hari.


"Jja..." Ia menatap tumpukan peralatan makan yang baru saja selesai dicucinya. "Apa lagi, ya..."


Setelah memastikan kalau pekerjaan rumah sudah beres semuanya, ia pun beranjak ke kamar untuk membangunkan Haejin yang masih pulas tidur siang.


"Hm..." Jeno kini dilanda dilema.


Jam sudah menunjukkan sudah waktunya Jisung pulang dan dia harus segera menjemputnya di depan kompleks. Sementara itu, Haejin masih tertidur dengan pulas.


Dilema karena dia tidak mungkin meninggalkan Haejin di rumah sendirian meskipun tertidur dan dia juga tidak bisa membangunkannya dengan paksa karena si Matahari adalah cetakan Miminya; sama persis.


Keduanya jika bangun bukan karena kehendaknya, maka mood-nya akan buruk selama berjam-jam ke depan; bahkan bisa sampai seharian.


"Hm..." Jeno menggumam penuh kebingungan.


Lalu saat ia hendak memilih cara kedua; membangunkan Haejin dan menerima resikonya, si Kecil sudah terbangun lebih dulu. Terima kasih kepada suara knalpot sepeda motor milik anak Ketua Warga yang lewat di depan rumah.


"Eommaayaaaa..." Jeno mengusap wajah bundar Haejin lalu menciumnya sekali. "Mau ikut Pipi jemput Kakak, eum?"


Haejin mengerjap lembat lalu merentangkan kedua tangannya ke depan; meminta digendong.


"Apiiii... usuuuu~"


Jeno tersenyum sambil mengusap kembali wajah Haejin. "Minum susunya sambil jemput Kakak, neee?"


The Chronicles of A Boy : The Living RoomWhere stories live. Discover now