6. Rajendra Rama Hakmani

Start from the beginning
                                    

Angel:
"Oh, tidak. Dua orang idiot akan merencanakan satu lagi kebodohan besar. Tapi terserah, lah. Raina pasti tau konsekuensi dari pilihan bodoh untuk menghubungi Julian lagi, dan ketika si bodoh ini menangis lagi karena itu, kau yang harus menenangkannya, Rei."

Terakhir yang kulihat dalam grup obrolan itu adalah Kirei yang hanya mengirim emotikon tertawa untuk menanggapi omelan Angel. Kita berdua memang sudah semaklum itu dengan watak Angel yang selalu merasa paling dominan di antara kami. Dia selalu merasa bahwa pemikirannya yang logis itu tidak pernah salah apalagi terbantahkan. Namun jika kalian pikir dengan membantah pendapat Angel kalian akan bisa menyelesaikan masalah, itu salah besar. Waktumu hanya akan terbuang sia-sia hanya untuk melawan Angel yang selalu harus menang. Itu lah mengapa Kirei hanya menimpali seadanya, sebab dia tau hanya jawaban seperti itu lah yang paling aman untuk diberikan kepada sahabat kami yang maha benar itu.

Di luar dari pendapat Angel yang terkesan galak tadi,  rasa setujuku memang lebih condong kepada apa yang dikatakan Kirei. Aku harus membuktikan bahwa Julian lah yang ada di balik semua ini demi mendapatkan ketenanganku kembali. Demi mendapatkan kedamaian hati, serta pikiran jernih agar naskah novelku bisa benar-benar selesai.

Waktu itu aku benar-benar berpikir bahwa  dengan memastikan Julian sebagai pelaku di balik pesan-pesan misterius adalah hal yang benar-benar harus kulakukan demi mendapatkan ketenangan batin. Katakanlah aku berlebihan karena terlalu memikirkan pesan-pesan yang bisa saja hanya datang dari orang iseng, tapi jika dengan mencari tau siapa pelakunya dapat membuatku kembali fokus mengerjakan revisi naskah, kenapa tidak?

Untuk itu aku langsung menghubungi beberapa teman-teman alumni SMA , mencari satu di antara mereka yang masih menyimpan nomor ponsel Julian. Lelaki itu memblokir semua sosial media yang kupunya, jadi kupikir satu-satunya cara untuk bisa berbicara dan menanyakan hal ini kepadanya adalah dengan meneleponnya langsung.

Hampir lebih dari sepuluh orang teman yang kutanyai tentang nomor ponsel Julian, namun tak satupun dari mereka mau memberikannya. Katanya, aku harus ijin langsung lebih dulu kepada yang bersangkutan sebelum meminta nomor ponselnya. Aku kesal sekali, mereka berlebihan. Apa susahnya memberikan nomor ponsel? Toh, juga mereka tidak tau masalah apa yang akan kubicarakan dengan Julian. Untuk apa mereka ragu memberikan nomor ponselnya padaku?

Tapi aku tidak berhenti sampai di situ saja. Kepada orang kesebelas yang kumintai nomor ponsel Julian, aku terpaksa bercerita. Tentang apa yang pernah terjadi di antara kami, tentang hubungan yang disembunyikan itu, hingga akhirnya sampai pada bagian di mana aku dibuat gelisah oleh pesan-pesan misterius yang sepertinya dari Julian. Orang kesebelas itu merasa empati kepadaku, katanya apapun yang belum selesai di antara aku dan Julian harus segera ditemukan titik terangnya. Atas nama rasa empati lah orang itu memberikan nomor ponsel Julian setelah mendengarkan curhatanku.

Tentang siapa orang kesebelas itu mungkin akan sedikit mengejutkan. Aku tau bahwa sebelumnya aku terkesan impulsif karena terlalu berani untuk ini. Aku terlalu berani menceritakan kisahku dan Julian, kepada Nadia yang pernah menjadi kekasihnya juga.

Sejak itu, aku dan Nadia berteman baik. Dia juga sudah melupakan Julian dan menjalani hubungan yang jauh lebih menyenangkan bersama lelaki yang lebih muda dua tahun dari dirinya sendiri. Maka tidak akan ada alasan lagi untuk kami merasa canggung membahas Julian.

Jika benar sejak itu aku dan Nadia resmi bersahabat, akan terasa sedikit lucu karena persahabatan ini dilatarbelakangi oleh kenyataan di mana kami berdua memiliki mantan pacar yang sama.

Selepas mendapatkan nomor ponsel itu dari Nadia, aku tidak langsung menghubungi pemiliknya. Entah bagaimana bisa perasaan gelisah itu perlahan malah bercampur dengan rasa takut. Takut jika seandainya bukan Julian orangnya, takut jika Julian hanya akan menertawakanku, atau mungkin sama sekali tidak ingin bicara denganku. Aku takut jika apa yang dikatakan Angel lagi-lagi benar, bahwa aku tidak perlu melakukan ini. Aku tidak perlu mencari tau tentang ini semua karena sebenarnya aku hanya mencari-cari alasan untuk bisa berinteraksi lagi dengan Julian. Tapi bagaimana jika memang Julian orangnya? Bagaimana jika setelah ini akan tercipta harapan baru untuk kami bisa kembali bersama dengan versi yang lebih baik dari diri kami masing-masing? Persetan dengan persepsi Angel. Aku memang hanya ingin membuka kesempatan baru untuk aku dan Julian bisa bersama lagi.

FWB: Friends With BittersweetWhere stories live. Discover now