5. Bab Terakhir Untuk Julian

Start from the beginning
                                    

Julian tersenyum lebar, ada rasa haru yang bisa kutangkap dari sorot matanya. Ia langsung turun dari mobilnya, berputar untuk membukakan pintu untukku. "Nanti sebelum tengah malam akan kutelepon. Harus diangkat, ya?" pintanya saat aku sudah turun dari mobil dan mulai melangkah membelakanginya.

Seakan apa yang diucapkan oleh Julian itu adalah sihir magis, langkahku yang mengarah ke rumah langsung terhenti, lantas berbalik ke arahnya dengan senyuman kecil. "Kalau kamu tidak sibuk, telepon saja kalau kamu sudah sampai rumah. Tidak usah menunggu tengah malam. Memangnya aku Cinderella?"

Julian tertawa. "Kamu lebih dari itu."

Untuk menyembunyikan pipiku yang merona, aku langsung membiarkan tanganku melambai saja ke arahnya, lantas berbalik badan sebelum melangkah buru-buru ke arah rumah. Tak lama setelahnya, samar kudengar suara deruman mobil milik Julian yang sudah menjauh dari sana.

Dia sudah pergi, tapi senyuman yang hampir menenggelamkan mataku ini tidak bisa pergi begitu saja. Bahkan sampai aku sudah memasuki kamar, masih kudapati diriku tersenyum dengan hati yang disesaki bahagia, demi mengingat bagaimana Julian begitu tulus, terharu menangisi kerinduan yang sudah menemui tuannya. Untuk merayakan itu, senyuman di bibirku ini terus kubawa hingga tiba pada jam-jam di mana Julian benar-benar meneleponku, membicarakan hal-hal tidak penting yang entah kenapa justru terasa menyenangkan.

• • •

Hari-hari selanjutnya adalah tentang bagaimana Julian memenuhi hidupku hanya dengan rasa bahagia. Dia lebih sering menelepon, dan itu sedikit menyulitkanku karena harus bersembunyi, mengunci pintu kamarku, lantas memastikan Ibu dan Naufan sudah tidur sebelum aku bisa bebas mengobrol dengannya lewat telepon. Aku juga masih belum berani memberitahukan Angel dan Kirei tentang apa yang aku lewati belakangan ini. Sudah pasti mereka akan marah, tapi menurutku akan ada beberapa waktu di mana aku berhak memutuskan apa yang ingin aku lakukan untuk diriku. Maksudku, akan ada waktu di mana aku berhak memilih sendiri hal apa yang bisa membuatku bahagia. Akan ada masa di mana aku punya batasan hidup yang tidak bisa aku bagikan lagi kepada Angel dan Kirei. Dan ku rasa... masa itu telah tiba.

Aku berniat untuk menyembunyikan kembalinya Julian dalam kehidupanku. Mungkin menurut kalian aku terdengar seperti pengkhianat karena menyembunyikan ini semua dari kedua sahabatku. Tapi, seperti yang kukatakan tadi; aku sedang tenggelam pada masa di
mana aku merasa berhak memiliki batasan hidup yang tidak membutuhkan siapapun lagi untuk mencampuri. Sekarang aku hanya ingin menemukan bahagiaku sendiri bersama Julian, perihal konsekuensi yang bisa saja kudapati ke depannya, biarlah itu menjadi urusanku.

Suatu malam, Julian lagi-lagi menelepon. Aku yang sedang menonton tv di ruang keluarga dengan panik langsung membisukan dering ponselku. Perlahan aku berdiri dari sofa, mengendap-endap masuk ke kamar setelah memastikan Ibu sudah tidur. Naufan sedang tidak di rumah, dari yang kuingat malam itu dia menginap di rumah temannya berhubung besoknya adalah hari libur.

"Halo?" sapa Julian setelah aku menerima panggilannya.

Aku membuang napas lega, berhasil masuk ke kamar lantas menguncinya tanpa menimbulkan suara bising apapun yang bisa saja membuat Ibu terbangun.

"Hai," sapaku dengan gugup.

"Sebenarnya aku ingin menanyakan kamu sedang apa, tapi sepertinya pertanyaan seperti itu sudah terlalu membosankan, ya?"

" Ya, sepertinya."

"Bagusnya pertanyaan itu diganti dengan apa?"

FWB: Friends With BittersweetWhere stories live. Discover now