5. Bab Terakhir Untuk Julian

Start from the beginning
                                    

"Maafkan aku, Na."

"Memaafkanmu harusnya mudah, Jul. Tapi kalau mengingat betapa apatisnya dirimu waktu itu, aku tidak bisa berbohong pada siapapun bahwa aku benar-benar hancur. Kau di mana ketika hampir seluruh siswa sekolah menghujatku layaknya seorang jalang? Kau di mana ketika aku hampir depresi, menghadapi segala cemoohan yang datang dari semua orang yang bahkan tidak semuanya kukenal? Aku hampir gila, Julian! Setiap Minggu aku harus menemui psikiater demi memastikan bahwa aku masih bisa bertahan. Kau baik-baik saja ketika aku justru terlalu hancur! Kau menghindariku ketika aku justru butuh kamu untuk menguatkanku melewati semuanya, harusnya kita menghadapi masalah itu berdua karena sejak awal kita melakukannya bersama-sama, Julian. Tapi kenapa saat konsekuensi dari perbuatan kita itu datang, kamu terkesan lari dari semuanya, dasar pecundang?!" Aku baru menyadari bahwa aku sudah mulai menangis karena meluapkan itu semua. Julian hanya bisa menunduk lesu, membuatku semakin benci melihat dia berdiri di hadapanku.

Selanjutnya yang ada di antara kami hanyalah keheningan. Aku masih terisak, bisa kurasakan bahwa di sampingku Julian seperti menahan tangannya agar tidak menyentuhku. Bahkan untuk menenangkan tangisku, lelaki bodoh ini masih harus menahan diri dan berdebat dengan batinnya sendiri? Sudahlah. Mungkin memang tidak akan ada kecocokan di antara kami berdua. Julian selalu berdiri sendirian, mempertahankan ego dan prinsipnya ketika aku justru berdiri jauh di hadapannya, menunggu keberaniannya menghampiriku yang entah kapan akan terjadi.

"Aku merindukanmu," lirihnya di tengah-tengah isakanku.

Aku langsung terhenyak. Tanganku yang sibuk menyeka air mata langsung terhenti, menatapnya dengan datar meskipun sejujurnya aku terlalu terkejut mendengar pengakuannya. Tatapan datarku itu berubah sendu saat tenggelam dalam manik mata Julian yang menyiratkan ketulusan. Hingga detik selanjutnya, mataku mulai basah melihatnya hampir menangis.

"Kau tidak tahu betapa kerinduanku ini terlalu menyiksa, Raina. Jika saja rindu adalah wujud dari penyakit kronis, merindukanmu pasti sudah membuatku mati."

Oh, aku sudah tidak bisa menahan diri ketika mataku dengan jelas melihat Julian mulai terisak saat menuturkan pengakuannya itu. Aku ikut menangis, dengan masih menatapnya yang juga sudah sedari tadi membiarkan pertahanannya runtuh. Aku benar-benar tidak menyangka bahwa pertemuanku dengan Julian kali ini akan begitu emosional.

"Ini bukan kebohongan, Na. Bukan imaji, atau sekadar cerita fiktif seperti yang ada di dalam novel-novel yang sering kau baca itu. Merindukanmu adalah hal nyata yang benar-benar menyiksaku. Setiap hari, aku hanya bisa meminta diriku untuk bersabar, berharap punya kesempatan untuk menemuimu. Sungguh, Na. Aku terlalu merindukanmu."

"Dan kau pikir aku tidak?"

Detik selanjutnya aku langsung menghambur Julian dengan pelukan, membenamkan wajahku di dadanya untuk menangis sejadi-jadinya. Kubiarkan air mataku membasahi kaus hitam yang membungkus badannya. Kurasakan dengan begitu nyata bagaimana Julian membalas pelukanku, menangis sembari menahan kepalaku agar tetap tenggelam di dadanya. Seakan dengan begitu dia bisa menahanku bersamanya untuk waktu yang lama, seolah dengan begitu dia tidak ingin membiarkanku menghilang lagi sedetik pun.

Cinta mampu mendamaikan benci, itu yang kupercaya sedang terjadi atas diriku waktu itu. Tidak ada percakapan panjang setelah dialog-dialog emosional itu terlewati, aku lagi-lagi menuruti permintaan Julian yang ingin mengantarku pulang. Sebab situasi yang sudah berbeda, demi menaati aturan Ayah yang melarangku bergaul dengan lelaki manapun lagi, Julian tidak bisa mengantarku hingga di depan rumah. Aku turun sedikit jauh dari rumahku, demi menjaga agar tidak ada yang melihat kami berdua.

"Raina, aku ingin memastikan. Setelah ini apakah boleh aku menghubungimu lagi?"

"Kita saling merindu, Jul. Kau terlihat bodoh dengan pertanyaanmu itu."

FWB: Friends With BittersweetWhere stories live. Discover now