10. Broken Promise

1.4K 148 4
                                    

Karena lagi libur, dan part ini juga nggak sulit karena udah ada mentahannya di lapak sebelah, jadi aku memutuskan update di hari Minggu ehehehe. 

Walaupun ini part udah ada di versi cerpen, tapi udah aku tambal sulam biar agak nyambung sama versi novelnya. 

Btw guys, let me know kalo ada yang nggak nyambung, yaaa. Soalnya saking lamanya nggak kesentuh aku jd agak-agak lupa sama alur yang awalnya kutulis wkwk. hope you guys enjoy my story.

Luv u all 😘😘

PS: dengerin deh lagunya Laufey, pas banget sama kisahnya Rara. It so damn hurts, guys 😢

***

Rama duduk dengan gelisah di kursi tengah Pajero Sport nya yang sedang terjebak kemacetan kota Jakarta. Ia merutuki kondisi jalan yang tidak kondusif, padahal saat ini ia sedang sangat terburu-buru.

Telepon dari tunangannya semalam membuatnya kalang kabut. Rama sampai membeli tiket pesawat paling pagi untuk kembali pulang ke Jakarta. Bahkan ia tidak sempat berpamitan pada putri kecilnya yang masih terlelap kala pria itu berangkat.

Pikirannya melayang pada percakapannya dengan Safira semalam. Suara gadis itu terdengar serak dan sedikit sengau. Seperti baru menangis, atau mungkin masih menangis. Sejujurnya Rama tidak begitu perduli, hingga satu hal yang diucapkannya membalikkan keadaan.

Ingin membatalkan pernikahan, katanya?

Seketika Rama berang dibuatnya. Emosinya sudah sampai di ubun-ubun, namun tak bisa ia lampiaskan begitu saja mengingat Rama sedang menjaga sang anak di rumah sakit tadi malam.

"Jangan bodoh, Safira! Kamu tahu resikonya!"

"That's why we need to talk, face to face."

"Saya pulang besok!!"

Setelahnya, Rama memutus sambungan sepihak. Ia sangat marah mendengar Safira begitu mudah mengatakan batal menikah. Sementara Safira juga yang paling mengerti resiko apa yang akan mereka hadapi jika pernikahan ini batal.

Rama menggeram frustasi. Suara klakson bersahut-sahutan dari berbagai arah meramaikan kemacetan. Ia masih harus bersabar beberapa waktu lagi hingga bisa meluapkan kekesalannya pada Safira.

Satu jam setelah terjebak kemacetan, akhirnya Rama tiba di gedung apartemen Safira. Dengan pass card yang dimilikinya, ia bisa leluasa keluar masuk gedung tersebut.

"Duduk, Mas," pinta Safira saat Rama sudah tiba di unitnya.

Rama menahan diri untuk tidak langsung meledak. Gadis di hadapannya ini terlihat kacau. Lingkar hitam di sekitar mata indahnya seolah menunjukkan dia tidak tidur berhari-hari.

"Apa maksud kamu semalam, Ra?"

"Mau minum apa, Mas?" Elak Safira.

"Ck!" Rama berdecak kesal. Namun ia paham, Safira pasti butuh waktu untuk membicarakan masalah serius ini. Sebisa mungkin Rama mengatur emosinya meski sukar. "Air mineral saja."

Safira tersenyum lalu mengangguk. Dengan cekatan ia meyiapkan minuman dan menyuguhkannya pada Rama. Setelahnya, hanya hening yang tersisa.

"Can we start now?"

Safira yang duduk di hadapan Rama hanya melirik sekilas, kemudian menganggukkan kepalanya.

"Kamu tahu kan gimana kondisi Ibu saya sekarang? Kita udah sepakat sejak awal, kan, Ra. Hari pernikahan kita udah di depan mata, kamu mau bikin Ibu saya collapse?"

PULANGWhere stories live. Discover now