Fenomena Nyeker Yang tak Bisa dibendung

0 0 0
                                    

Oleh Fahri Yahya

Sudah menjadi rahasia umum dan pengalaman para santri jika sandalnya kena ghosob. Entah karena ditinggal wudhu, ditinggal noleh sebentar dan berbagai hal lainnya yang membuat kita lalai dalam mengawasi keberadaan sandal tersebut.

Sendal sudah hampir harus sama ketat penjagaannya seperti logam mulia yang harus dijaga, sandal kerap kali menjadi santapan hangat bagi mereka yang mager ngambil sandal sendiri. Parahnya lagi si pelaku tak melakukan pilah-pilih dalam mencari mangsanya. Baik sandal bagus ataupun jelek, milik santri ataupun ustadz-nya, semua dipukul rata dan sama-sama punya potensi untuk bisa kena ghosob.

Bukannya su'udzan, ini merupakan pengalaman yang tidak ada salahnya untuk diceritakan sebagai langkah yang perlu ditiru dan disebarkan demi menjaga sendal mereka yang berharga. Seperti ada santri yang mengamankan sendalnya dengan memasang gembok di sendalnya. Tidak termasuk Lebay, saya mengapresiasi baik bagi santri yang menggembok sandal jepitnya di pinggir masjid. Menurut saya, inilah cara cerdas dan kreatif yang patut untuk mengurangi potensi terjadinya ghosob.

Bukannya nggak modal, para pelaku ghosob sandal memang sengaja malas untuk balik sekedar mengambil sandalnya di kamar. latar belakang mereka melakukan itu sebenarnya bukan untuk memiliki, biasanya mereka hanya ingin meminjam sebentar lalu ditelantarkan.

"Ayo dawir. Mana sandal nte?" Ah sandal di depan masjid kan banyak?" Ungkapan-ungkapan sampah seperti ini lah yang sering saya dengar. Karena lingkaran ghosob yang tak berujung ini, maka lahirlah kaum-kaum nyeker.

Beberapa teman saya yang hobi nyeker selalu saya nasehati untuk kembali memakai sendal. Namun hasilnya nihil. Mereka menyimpan alasan dan trauma masing-masing dari hilangnya sandal mereka. Mungkin para kaum nyeker ini sudah kena mental karena terlalu sering menjadi korban ghosob, maka dari pada terus-terusan sakit hati karena kena ghosob, mereka secara naluri beralih untuk tidak lagi memake sandal alias nyeker. Seperti halnya hubungan kita, kalo tiap hari bikin sakit hati, ngapain dipertahankan? Awokwokwok.

Kaum nyeker sengaja memilih jalan ini karena mencoba menggakhiri sakit hati mereka karena kena ghosob. Inilah awal dari fenomena nyeker. Trend berjalan tanpa alas kaki tanpa rasa malu dan beban pikiran. Bahkan keadannya kini tumbuh kian subur, sesubur jamur di musim hujan. Tidak memandang musim panas kah itu atau hujan, nyatanya nyeker tetap diminati oleh sebagian besar dari kita.

Tapi dalam perkembangannya, kaum nyeker dibagi atas dua macam. Nyeker terpaksa dan nyeker murni.

Kaum nyeker terpaksa adalah mereka yang tidak sempat ngambil sandal di kamar. Mereka terburu-buru. Entah takut nggak kebagian gorengan syirkah atau moment lainnya. Tapi nyatanya kaum satu ini benar-benar ada.

Yang kedua nyeker murni atau murni nyeker. Gatau sih dalil mereka apa. Mungkin saja mereka meniru apa yang pernah dilakukan oleh Imam Malik RA. Yang tidak pernah mau menggunakan alas kaki, apalagi tunggangan saat berada di tanah Haram. Saat ditanya alasan mengapa Imam besar itu nyeker, jawabannya adalah, "Saya malu menginjak tanah dengan alas kaki dan tunggangan yang di dalamnya terbaring Rasulullah SAW." Mungkin inilah alasan dan dalih mereka kenapa terus bertahan dengan nyeker hingga hari ini; Ta'dzim dengan sang murabbi Abuya Hasan Baharun.

Husnudzan aja kerena bagaimana pun juga, kita tidak tahu kondisi hati seorang hamba. Atau mereka memiliki alasan lain, mungkin alasan kesehatan menjadi faktor pendorong mereka untuk nyeker.

Salah satu santri, saya tanya kenapa nyeker?" kerena dengan berjalan dan menginjak batu kerikil, kaki menjadi ter-refleksi dan dengan ini sama saja kita memperlancar peredaran darah sehingga membuat tubuh menjadi lebih sehat dan bugar." Hmmm... Agak ilmiah sih jawabannya.

Dari tahun ke tahun, pondok kita berusaha untuk menciptakan masjid yang bersih. Nah salah satu caranya Ya mewajibkan santri untuk mengunakan sandal sebelum masuk masjid agar kaki tidak kotor. berbagai upaya dilakukan demi menjaga kelestarian agar santri kemana-mana memakai sandal, bahkan pernah dilakukan pewarnaan sandal khusus tiap rayon agar tidak tertukar.

Bagi kalian yang masih berkecimpung di dunia ceker-menyeker, udahlah nggak usah aneh-aneh, kalau disuruh pake sandal, ya pake. Gitu aja repot. Toh semua kebaikannya juga kembali ke kita.

Di samping itu dalam menyadarkan para kaum nyeker agar kembali mau memakai sandal, lingkungan juga harus turut mendukung. Sama kasusnya orang yang mencoba berhenti merokok, usaha orang itu akan terasa sulit berhenti apabila dekat ataupun sering bergaul dengan perokok lainnya. Begitu pula masalah nyeker. Orang yang berusaha tidak nyeker, akan terpengaruh oleh teman-temannya yang masih nyeker.

Sebuah cerita, ketika saya mengikuti daurah Ramadhan disini, saya melihat perbedaan yang kontras antara pondok ketika aktif belajar dan liburan Ramadhan, kondisi masjid dan tempat wudhu selalu bersih. Pagi bersih, siang bersih, bahkan malam pun juga bersih. Bukan karena selalu dibersihin all time. Alasan utamanya Ya karena mereka pake sandal ke mana pun mereka pergi, mengesankan bukan?

Intinya, mari kita bersama-sama menjaga kebersihan pondok salah satunya dengan menciptakan #ayo_pake_sandal. Kita lawan kaum-kaum nyeker dengan sandal-sandal kita (bukan untuk ngelempar atau menamparnya sih.) Yang terakhir afwan ya... ini bukan untuk menyindir pihak mana pun. Ya terserahlah orang ngatain apa. Yang penting inilah fenomena yang terjadi dan harus berubah ke depannya.

Kita Karya & DoaWhere stories live. Discover now