Ingatkan aku untuk mengutuk kaki dan diriku sendiri yang nyatanya sudah lupa akan tekadku sebelumnya yang berjanji agar keluar dari lingkaran Julian. Hanya karena dia tersenyum manis saat mengacak rambutku, aku membiarkan lelaki membingungkan ini mencuri kesadaranku, membawaku berjalan bahkan hingga memasuki lobi hotel? Oh, yang benar saja Raina!

Sang resepsionis menyapa hangat, tak tau bahwa dalam hati aku menyimpan rasa takut bercampur penasaran bahkan sampai aku dan Julian sudah berdiri di depan pintu kamar hotel.

"Tunggu di sini sebentar," titahnya sebelum masuk lebih dulu dan menutup pintu. Entah apa yang dia siapkan di dalam sana, aku tak punya waktu untuk menebak. Yang kuingat, selang lima menit Julian langsung kembali untuk mepersilakan aku masuk.

Aku melangkah ragu, menaruh tas yang sedari tadi menggantung di bahuku ke sisi kasur secara asal. Kulihat Julian sudah langsung membuang dirinya ke kasur. Jika aku di sini berdiri dengan perasaan yang campur aduk, Julian justru terlihat santai sekali dengan caranya meregangkan tubuh, melepas segala lelah yang sempat membungkus tubuhnya.

"Aku menginap di sini sejak dua hari yang lalu," ucapnya dengan posisi rebahan di atas kasur. "Jadi seharusnya kamu tidak perlu mencemaskan apapun, apalagi sampai berpikir bahwa aku sengaja membawamu ke sini untuk melakukan hal yang tidak-tidak. Sungguh, Na. Aku hanya ingin menunggu hujannya reda."

Oh ya? Untuk apa menunggu hujan reda di dalam kamar hotel jika kendaraan yang kita naiki adalah mobil yang sama sekali tidak akan tembus oleh air hujan, Julian? ucapku dalam hati. Ketika Julian memberikan klarifikasi yang menyatakan bahwa dia tidak benar-benar berniat membawaku ke sini, diam-diam aku kecewa. Entah karena apa, tapi pikiran liar itu mulai meracuni pikiranku. Memangnya, apa yang akan hinggap di pikiran setiap gadis muda sepertiku jika harus berdua di kamar hotel bersama lelaki yang pernah ia sukai? Munafik jika kukatakan pikiranku masih normal.

Malu-malu, aku mulai mendudukkan diriku di pinggir kasur, membelakangi Julian yang sepertinya sudah akan tertidur. Yang terjadi kemudian adalah keheningan. Aku berinisiatif untuk menyalakan televisi demi membunuh keheningan yang mencekam, namun segala pergerakanku terhenti ketika telingaku mendengar Julian berucap. Atau mungkin... berbisik. Tepat di telingaku.

"Na, apakah kamu masih menyukaiku?"

Aku menoleh untuk memastikan, lalu sedikit terkejut demi mendapati wajah Julian yang sudah tak berjarak dari sisi wajahku. Tatapannya telak menghujam mataku.

"Apakah perasaan yang sempat lama kamu simpan itu... masih untukku?" desisnya lagi.

Aku menelan ludah, berusaha memberanikan diri untuk membalas tatapannya. "Pertanyaan itu untuk apa, Julian?"

"Untuk memastikan bahwa tidak akan ada penolakan  yang akan aku dapatkan setelah ini."

Aku terdiam, lebih tepatnya tak bisa berbicara ketika manik mata Julian menatapku dengan jauh lebih dalam. Tatapan itu semakin lama terlihat sayu, seakan ada hawa kehangatan yang meninabobokan kami berdua hingga kelopak mata sayu itu terasa akan tertutup dengan pelan, seiring dengan wajah kami yang saling mengikis jarak. Kita terlalu dalam saling menatap hingga tak sadar bahwa  hampir tak ada jarak yang mengantarai wajah kami. Sekarang aku bahkan bisa merasakan embusan napas Julian menerpa bibirku.

Jarak itu terkikis, membuat Julian berhasil mencuri satu kecupan manis tepat di bibirku. Mataku terbelalak, tak percaya dengan apa yang aku dapatkan barusan. Saat wajahnya kembali menjauh, mataku justru terpejam seakan menanti Julian mengulangi kecupan itu lagi.

Ketika mataku masih setia terpejam, saat jantungku berdebar dengan lebih cepat dari biasanya, di saat itu juga aku kembali merasakan sesuatu yang manis, lembut nan hangat menyapu bibirku.

FWB: Friends With BittersweetΌπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα