Rahasia yang mulai mencuat-I

Start from the beginning
                                    

Nayla menghela nafas kasar, "kenapa kamu? Lagi ada masalah sama pacarmu? Yaudah sih, biasanya juga gitu kan? Berantem terus putus terus dapet pacar lagi, yakan? Udahlah Nay, gak usah sok merana gitu,"

"Kali ini beda Ra,"
"Apanya yang beda? Oh, kamu udah ganti pacar lagi?"
"Bukan, kali ini gw serius sama dia,"
"Maksudnya? Kamu mau nikah gitu? Wah bukan main," aku bertepuk tangan pelan, "gak mungkin sih Nay, aku gak percaya, secepat ini? Nay, nikah itu gak main-main kayak kamu pacaran,"
"Gw tau Ra, tapi kali ini dia beda. Gak kayak mantan-mantan gw yang lain, dia bener-bener tulus dan kemarin dia ngelamar gw,"
"Haaah, really? Kamu terima?"
"Belum,"
"Kenapa? Kamu gak serius sama dia?"
"Gw sayang sama dia, tapi-,"
"Tapi?"
"Bokap gw, Ra. Gw malu, keluarga dia harmonis banget dan gw gak tega kalau harus membuat dia masuk ke keluarga gw yang kacau-balau,"
"Kalau dia udah melamar kamu, artinya dia udah nerima semua kekurangan kamu dan keluarga kamu, Nay."
"Gw tau, Ra. Tapi nanti gw gak bisa ngebayangin kalo bokap gw akan nyakitin dia kayak dia nyakitin gw, ngambil semua uang gw untuk judi dan mabok-mabokan dan belum lagi nanti dia ngerasain pukulan yang selama ini sering gw rasain, mungkin aja kan Ra?"

Aku bergeming, menatap Nayla yang membendung tangisnya. Aku mengelus tangannya mencoba memberi setitik ketenangan disana.

"Gw juga mau menikah kayak cw lainnya, Ra. Mau bahagia semudah mereka."

Nayla yang sering mengajarkanku untuk selalu tegar kini hatinya sedang rapuh, Nayla yang sering memberiku warna-warni kehidupan kini tak disangka hitam-putih sedang mengabunginya. Nayla masih punya ayah dan ayahnya masih bisa menjadi wali dipernikahannya, tapi itulah masalahnya. Ternyata masih punya ayah, tidak menjamin adanya kebahagian dan harmonis di dalam rumah.

Lalu bagaimana denganku nanti? Aku teringat kala itu, saat ibu bilang ke temannya kalau ia akan memanipulasi keberadaan ayah, suatu saat nanti ibu akan bilang kalau ayah telah tiada, bagaimana jika hal itu benar-benar terjadi? Apakah aku akan sesakit Nayla? Tetapi jikalau aku harus mencari ayah, jalan mana yang harus ku telusuri?

Dunia seegois inikah? Kenapa aku harus mencari ayah yang jelas-jelas ia pun sama sekali tidak peduli dengan keberadaan kami, sudah dua belas tahun sejak kepergiannya aku sama sekali tidak mendengar kabar apapun, bukankah untuk mencarinya adalah hal yang konyol?

"Ra, untuk menikah apakah harus terluka sebanyak ini dulu, mengapa semua harus berakhir luka?" Tanya Nayla tak bisa kujawab, akupun tidak tau mengapa luka seakan-akan adalah material penting dalam kehidupan seorang manusia.

Kotak itu, sedang tenggelam di danau penuh rawa.

***

"Naira, kamu revisi ini ya," perintah salah satu rekan kerja.

"Kok saya?"

"Kayaknya revisian kamu sedikit tuh,"

"Sedikit?" aku tersenyum picik padanya, "yaiyalah sedikit, saya 'kan rajin, setiap hari saya revisi sampai lupa liburan, gak kayak kamu yang sibuk liburan dan ninggalin tanggung jawab,"

"Apa?! Kamu berani sama senior kamu?!"

Aku menghiraukannya, senior semacam ini memang tak layak dihormati, memangnya saya budaknya? Aku melanjutkan berkutat pada monitor, tak menanggapi perintahnya.

"Huft!", ia menghela nafas kasar, aku tidak peduli.

"Mana teman kamu? Jam segini udah pulang?"

Aku tidak menjawab, sudah pasti ia mau mengomel karena Nayla sekarang sedang tidak bisa membantunya.

"Kalo gw nanya itu dijawab!" katanya sambil menendang kursiku, aku sudah kehabisan kesabaran dengan senior yang sama sekali tidak layak dikatakan senior.

BARA [END]Where stories live. Discover now