Belum aku membalasnya. Gawaiku berdering lagi.

"Kaget ya Nai? Aku cuma mau jadi alasan kamu bahagia. Saat mendengar ceritamu kemarin, aku merasakan hal yang sama. Kita sama-sama kehilangan ayah dan aku mau kita sama-sama jadi obat untuk luka kehilangan itu."

Aku masih tidak membalasnya. Aku bingung.

"Naira, boleh ya, untuk aku membahagiakan kamu."

Pesan singkat dari Bima membuat aku kebingungan membalasnya. Membahagiakan aku? Sayang sama aku? Kalau maksudnya untuk berteman lebih dekat, mungkin aku mengerti. Tapi mengapa Bima mengatakan ingin menjadi alasan aku bahagia? Apakah aku terlihat begitu menyedihkan baginya? Tetapi isi pesannya adalah kalimat permohonan. Kalau benar ia merasa kasihan, seharusnya bentuk perhatian yang ia kirim, atau dia butuh penyembuhan untuk lukanya sendiri? Kami sama-sama kehilangan ayah, mungkin luka yang kami miliki sama dalamnya. Luka yang berhasil merajai seluruh hidup yang membuat sebagian dari diriku mati, mungkin Bima merasakannya juga.

Tapi kalimatnya "aku cuma mau jadi alasan kamu bahagia" ambigu bagiku. Jika ia butuh penyembuhan lukanya sendiri, lalu mengapa ia yang memohon untuk membahagiakanku? Aku membaca kembali pesannya, "aku mau kita sama-sama jadi obat untuk luka kehilangan itu." Apakah maksud Bima adalah menjalin hubungan?

"Gak, gak, gak mungkin." Aku menepis segala terkaan yang tidak masuk akal.

Aku mencoba berpikir sederhana, mungkin maksud Bima, ia ingin aku dan dia menjadi teman yang sama-sama bisa saling menampung segala luka yang dapat diobati. Dengan luka kehilangan itu, aku dan Bima masih bisa menjalani hari dengan baik, tetapi bukankah jika luka itu berhasil diobati, bisa menjadi hari yang lebih baik? Ya, aku yakin ini maksud Bima. Karena, setiap luka pasti ada obatnya. Jika dulu aku dan Bima tak dapat mengobati luka sendiri. Mungkin, sekarang kami bisa saling mengobati. Aku paham betul bagaimana sakitnya ditinggal seorang ayah saat anak kecil lainnya memamerkan cerita berliburnya kepada guru. Tidak ada yang dapat aku ceritakan saat itu, ayah sudah pergi dan ibu menghabiskan waktunya menjadi tulang punggung keluarga. Aku hanya bisa mematung di depan kelas dengan air mata yang berusaha aku bendung. Mungkinkah, Bima mengalaminya juga?

"Ra, Rara."

Panggilan Nayla menyadarkanku dari lamunan.

"Ah elah, malah bengong. Kenape lu? Mikirin Bima?" tebakan Nayla memang benar, tapi tidak sepenuhnya benar.

"Apaan sih Nay, siapa yang bengong coba."

"Cicek yang bengong, ya elu lah!"

"Enggak!" elakku.

Nayla berdecak, "'Serah lo deh, makan yuk laper nih."

"Ayuk! Oh iya, Si Mbok katanya mau jualan rendang,"

"Rendang? Si Mbok kan wong jowo toh? Emang bisa masak rendang?"

"Memangnya cuma orang padang doang yang bisa masak rendang? Yang gak bisa itu cuma orang-orang yang malas kayak kamu."

"Apaan sih, Ra. Gw itu bukan males, tapi takut minyak panas."

"Naylaaaa, orang yang banyak alasan itu tandanya pemalas, ya kayak kamu gini."

"Terseraaaah."

Kami pergi ke kantinnya Si Mbok dengan meninggalkan pekerjaan dan segala terkaan tentang Bima yang cobaku kususun rapih tadi.

***

POV Bima

Perenungan tentang luka yang telah aku ciptakan menghadirkan pagi dengan segundah keresahan, menciptakan air mata yang turun tanpa rasa malu, seorang laki-laki yang kehadirannya seharusnya tak pernah ada diantara, kini menciptakan segudang kekacauan yang sulit diselesaikan namun sangat mudah terurai, terurai menjadi cerita rumit yang mengundang banyak tanya dan setumpuk penjelasan yang susah dijelaskan. Di akhir perenunganku, aku bersandar pada sofa empuk mahal limited edition yang aku beli setahun lalu, aku melelapkan sejenak sesak kepalaku, hingga muncul suatu keinginan untuk mengiriminya pesan, bukan pesan ajakan untuk menikmati secangkir kopi, bukan juga ajakan untuk menikmati akhir pekan, aku mengiriminya pesan bertuliskan sebuah permohonan, permohonan untuk menyayangi dan membahagiakannya.

Alasan aku mengiriminya pesan itu, sudah jelas adalah bagian dari rencanaku, rencanaku untuk lebih dekat dengannya, namun aku mesti mendapat persetujuan darinya, aku tak mau menjadi lancang untuk kesekian kalinya karena memasuki hidupnya yang tak pernah mendapat persetujuan darinya, aku telah masuk menjadi bagian dari kehancurannya dan aku juga telah berada di balik hidupnya tanpa ia tahu, kini aku tidak mau memasuki hidupnya lagi tanpa persetujuan dan bahkan tanpa sepengetahuan dirinya. Untuk redaksiku 'aku mau kita sama-sama jadi obat untuk luka kehilangan itu.' Sebenarnya hanyalah redaksi tersirat bahwa aku ingin membersamainya hingga semua yang kukubur akhirnya sampai padanya, aku tidak bermaksud untuk membebankan dirinya tentang luka yang kualami, aku hanya ingin ia tak pernah pergi sampai semua penjelasan yang berusaha aku ungkap menjadi sangat jelas untuknya.

Namun Naira tak membalas pesanku, mungkin ia kebingungan dengan maksud pesanku, aku tak mungkin menjelaskan maksudku yang sebenarnya, aku hanya membiarkan pesan itu terbaca dan tanpa balasan darinya, mungkin esok aku akan mendapat balasan, aku harus bersabar menanti angan yang kuharapkan. Bukankah memang seapatutnya seperti itu? Bersabar menanti jawaban dari angan yang dipanjatkan, kitab suci sudah memberitahu bahwa kesabaran adalah hal yang istimewa, karena keistimewaan itu maka sudah sewajarnya bahwa jawaban adalah buah paling manis yang dihasilkan, walau pada akhirnya bukan jawaban yang dimau. Suatu saat Naira akan mendapatkannya, mendapat segudang penjelasan dari ribuan pertanyaan yang sesak dikepalanya, suatu saat Naira akan mendapatkan buah manis dari kesabarannya bertahun-tahun, bagiku sebuah rahasia yang akhirnya muncul dipermukaan laiknya buah termanis dari kebun yang sebelumnya mengalami gagal panen bertahun-tahun.

Malam bertemankan angan,
Pagi bertemankan rencana,
Siang mengundang penat,
Sore hadir dengan segala keresahan,
Hidup bagai terkekang dan terkungkung,
Namun yang lebih menyakitkan,
Semuanya sebab oleh diriku sendiri.
Sial!

***

BARA [END]Where stories live. Discover now