67

1.6K 312 55
                                    

[Saya sarankan untuk membaca chapter 65 terlebih dahulu agar mendapatkan feel, karena barang kali sudah lupa dengan alur ceritanya, happy reading.]

Lorong-lorong bangunan yang terbuat dari kayu kini menjadi satu-satunya hal yang bisa kupandang. Lorong panjang ini menghubungkan aula utama dengan bangunan bagian belakang keraton. Seorang pengawal yang berajalan di depanku tidak mengeluarkan sepatah katapun dan hanya memandu langkahku, begitu juga denganku yang hanya mengikutinya tanpa berniat memecah keheningan panjang ini.

Hari ini Maharaja memanggilku ke kerajaan, entah apa yang akan dia bicarakan. Mungkin mengenai masalah beberapa hari lalu yang aku kesini tapi malah langsung diseret pulang oleh Raden Rawikara.

Akhirnya kita sampai di sebuah ruangan yang menghadap langsung ke taman, sisi kanan ruangan ini terbuka dan terdapat beberapa kursi. Dua buah kursi itu ditempati oleh Maharaja dan satunya Raden Rawikara, tidak salah lagi karena meski hanya melihat dari belakang aku sudah hafal.

"Salam Baginda."

Kedua orang itu menoleh ke arah kami, tetapi selanjutnya ku dengar Raden Rawikara mengundurkan diri dan langsung melangkah pergi dari ruangan.

Padangan kami sempat bertemu sebentar, tidak ada senyuman sama sekali di bibirnya. Hanya wajah datar tanpa ekspresi yang ia tunjukan sebelum memutuskan pandangannya dariku dan menghilang di balik pintu.

Entah mengapa hatiku terasa sesak, hais apa-apaan aku ini!

"Kau sudah datang?"

Senyumku mengembang sembari melangkahkan kaki memperpendek jarak antara kita.

"Iya Baginda."

Maharaja menunjuk kursi di sebelahnya dengan dagu, "duduklah."

Aku menganggukan kepala dan langsung mengambil posisi duduk di kursi sampingnya.

"Kalau boleh tahu, mengapa Baginda memanggil saya kemari?"

Ia menggelengkan kepala, "tidak ada, hanya saja aku memiliki sedikit waktu luang, yang pasti akan menyenangkan jika dihabiskan bersamamu."

"Ah rupanya seperti itu, tentu saya sangat berkenan menemani Banginda mengisi waktu luang."

"Kau punya rencana untuk melakukan hal yang kau sukai? Misalnya pergi ke danau tengah hutan atau pergi berkuda bersamaku?"

Aku menggeleng, jujur saja aku sedang tidak begitu bersemangat untuk melakukan aktivitas luar ruangan. Pergi ke danau indah tengah hutan itu bukanlah hal bagus, setiap saatnya aku dibayangi oleh binatang buas yang tiba-tiba akan muncul, sedangkan kita hanya pergi berdua.

Lalu untuk berkuda, sepertinya bukan hal yang bagus juga karena tidak mungkin berkuda di jalanan yang sering dilintasi orang, nanti apa kata orang-orang.

"Sepertinya duduk disini melihat taman bunga bersama Anda cukup menyenangkan Baginda."

Kulihat senyuman Maharaja mengembang, "Baiklah, asalkan bersamamu aku juga mau hanya duduk di sini sampai sore."

Aku memasang sebuah senyuman setelah baginda mengucapkan hal itu.

"Ah iya ada yang ingin aku tanyakan."

"Apa itu Baginda?"

"Tentang Rawikara,"

Deg,

Seketika tubuhku membeku hanya karena namanya disebut, aku juga tidak tahu mengapa diriku bereaksi demikian. Namun, aku jadi teringat tatapan dingin Raden Rawikara padaku tadi.

Dengan segera aku memperbaiki ekspresiku, "Apa yang ingin Baginda tanyakan mengenai Raden Rawikara?"

"Beberapa hari lalu aku sempat sedikit berdebat dengannya dan saat itu kau datang tetapi Rawikara langsung menarikmu pergi, apakah kau mendengar perdebatan kami?"

"Saya mendengarnya sedikit, Baginda."

"Yang menjadi pertanyaanku adalah...."

Jadi yang tadi bukan pertanyaannya, hais mengapa aku merasa seperti sedang di introgasi.

"Rawikara berbeda dengan dua hari lalu, sekarang ia sepertinya sama sekali tidak memiliki minat untuk memilikimu. Padahal aku masih ingat jelas, bagaimana kerasnya saat itu dia menginginkanmu, bahkan dia tidak segan jika harus menghadapi bahaya. Apakah kau tau penyebabnya?"

"Setelah berdebatan Baginda saat itu, saya dan Raden Rawikara terlibat pembicaraan mengenai masalah ini."

"Kau menyuruh Rawikara mundur?"

Aku mengangguk, "benar."

"Apa alasannya?"

Tentu karena tidak ingin Raden Rawikara terluka, melawan Raja bukanlah hal bisa dilakukan. Bahkan sudah akan kalah sebelum dimulai, bayangkan saya hanya dengan satu perintah sudah bisa dipenggal di depan umum.

Namun, tentu aku tidak bisa berkata jujur tentang alasan ini, karena diriku saja juga masih menolak jika alasan ini adalah alasanku.

"Apapun alasan saya, yang terpenting sekarang tidak ada lagi persaingan yang akan melukai satu sama lain."

"Benar juga, jadi tidak ada orang lain yang akan merebutmu dari pelukanku, Maheswari."

Aku hanya tersenyum mendengarkan hal itu.

"Jadi bagaimana, bersedia menjadi Ratuku?"

Menolak juga tidak ada gunanya, itu bukanlah pertanyaan melainkan perintah mutlak bagiku. Meski sekrang cinta belum hadir, tapi nanti pasti akan ada secara perlahan.

Lagi pula di usiaku yang kini sudah bukan remaja lagi tentu cinta itu bukanlah hal yang paling penting saat memulai hubungan, tidak percaya? Kalian pasti akan percaya saat sudah menginjak usia yang sama denganku.

"Saya bersedia Baginda."

Senyuman lebar mengembang di bibir Baginda Raja, senyuman yang sangat manis itu pertama aku lihat begitu lebar.

"Aku akan segera mempersiapkan pernikahan kita Maheswari. Tunggulah, ini akan menjadi berita besar untuk tanah Kahuripan."

"Saya juga menunggunya."

***

Wuihh mau nikah tuh mereka, setuju nggak kalian?

Jangan lupa klik tombol vote dan tuliskan sepatah dua patah kata di kolom komentar.

See you, besok lagi.

MaheswariWhere stories live. Discover now