─ Day 7 : Promettere; promise

244 9 0
                                    

Angst Week Day 7
Prompt : Lies

Isara Mao x Tenshouin Saiki (OC)
Ensemble Stars!! © Happy Elements

Words : 658

Tag(s) : Taishou Era AU

· ─────── ·♪· ─────── ·


Sudah menjadi rahasia umum, bahwasanya keluarga konglomerat Tenshouin, memiliki seorang anak perempuan yang berbeda dari kebanyakan orang yang lain. 

Tenshouin Saiki namanya. Gadis dengan surai pirang serta netra sewarna lazuardi itu telah memikul banyak beban berat kendati umur masih berada di angka enam belas. Terlahir dengan kekuatan yang bisa menyembuhkan orang lain, menjadikan Saiki terisolasi dari dunia luar. Seluruh keluarganya sangat memprioritaskan kepentingan dirinya─bahkan lebih dari kakak laki-lakinya yang sering sakit-sakitan. Pola makan dijaga, waktu tidur dijaga, gerakan dijaga. Segala tentang kesehariannya, diatur oleh keluarganya. Mereka bahkan sanggup membunuh seseorang yang berani membawa Saiki pergi keluar dari rumah diam-diam. Semua itu bukan semata-mata karena rasa sayang, mereka hanya tidak ingin kehilangan kekuatan yang dimiliki olehnya. Kendati begitu, Saiki sama sekali tak berbuat apa-apa. Ia sudah senang dengan kehidupannya yang sekarang, meski harus menerima kenyataan bahwasanya dirinya diperlakukan laksana hewan.

· ─────── ·♪· ─────── ·

Saiki masih menginjak umur sepuluh tahun tatkala netra kebiruannya bertemu dengan iris sewarna zamrud milik seorang pemuda yang kini telah menjadi cahayanya. Ia ingat betul, bahwa pertemuan pertama mereka berdua adalah ketika Mao, si pemuda, ikut berkunjung ke kediamannya guna menyembuhkan adik perempuannya yang tengah mengalami sakit ringan. 

"Kau tidak bosan setiap hari selalu diatur ini-itu?"

Merupakan kalimat yang menjadi awal dari segalanya.

Si gadis mengerling; mempertemukan netranya dengan milik si pemuda yang tiba-tiba saja berada di sampingnya, lantas kembali menaruh pandangan pada taman bunga di depannya. "Tidak," jawabnya singkat.

"Hebat!" Pemuda kecil itu berseru. Kerlip semangat jelas nampak pada kedua bola mata sewarna zamrud miliknya, "Kalau aku, pasti tidak akan mendengarkannya."

"Kenapa?"

Pemuda bermarga Isara itu menyipitkan kedua matanya, lukiskan wajah bahagia yang tiada duanya. "Karena yang berhak menentukan hidup kita, adalah diri kita sendiri!"

Angin tiba-tiba berhembus kencang, terbangkan dedaunan ke arah cakrawala yang membentang. Dan saat itu pula, Tenshouin Saiki berhasil menemukan cahaya yang menariknya keluar dari lubang kegelapan.

· ─────── ·♪· ─────── ·

"Saiki? Kenapa melamun?" 

Sebuah suara yang familier memasuki gendang telinga, seketika menarik si hawa kembali ke dunia nyata.

"Ti-tidak ada. Hanya tiba-tiba kembali teringat pada sesuatu," jawabnya segera, menimbulkan kerutan pada dahi sang lawan bicara.

"Serius?" Mao bertanya, rasa khawatir kental terasa dari nada bicaranya.

Saiki mengangguk. "Dua rius, deh! Kamu masih tidak percaya?"

Kekehan kecil keluar dari mulut si pemuda. Tangan yang lebih besar terulur untuk membelai lembut helaian pirang milik Saiki. Dengan senyum yang masih setia terlukis, ia berujar, "Iya, iya. Percaya, kok."

Rona merah lindap menghiasi kedua pipi pucat si hawa. Ia mengalihkan pandangannya pada kolam ikan di depannya segera, sebab tak kuasa menatap netra zamrud milik si adam yang memancarkan kehangatan. Lantas, keduanya sama-sama terdiam; tak berani mengucapkan barang sepatah aksara. Hanya hembusan anila musim semi yang mengisi keheningan.

"Aku penasaran dengan laut."

Si gadis Tenshouin tiba-tiba mengusir keheningan yang ada. Kalimat yang baru saja diucapkannya, mengundang Mao untuk menoleh ke arahnya dengan kedua alis yang terangkat dari tempatnya.

"Mau lihat ikan di sana?" tanyanya kemudian. Tahu betul bahwa gadis di sampingnya itu amat sangat menyukai ikan. Buktinya, mereka berdua kini tengah berada di halaman rumah Mao. Sekedar menikmati hangatnya udara musim semi sembari melihat ikan-ikan yang berenang ke sana ke mari.

Kepala Saiki menoleh ke arahnya perlahan. Binar harapan nampak jelas di kedua netra sewarna lazuardi tersebut. "Boleh …?"

Si surai kemerahan mengangguk, lontarkan kalimat, "Tentu saja! Suatu hari nanti, akan aku bawa kau ke sana."

Senyum di paras sang hawa seketika terkembang. Dengan malu-malu, Saiki mengulurkan jari kelingkingnya, sedang pandangan diarahkan ke arah lainnya. Rona merah jelas menyebar di setiap sudut wajahnya, timbulkan kekehan dari si pemuda Isara.

"Jan-janji …?" Saiki berucap pelan, nyaris berbisik. Kendati begitu, Mao masih dapat mendengarnya dengan sangat jelas.

Pemuda berusia enam belas tahun itu ikut mengulurkan jari kelingkingnya, lantas mengaitkannya dengan milik si hawa. Tersenyum lebar, ia berseru penuh keyakinan, "Janji!"

Namun Isara Mao, tidak pernah menepati janjinya.

· ─────── ·fin· ─────── ·

ANGST WEEK | RRA COLLABWhere stories live. Discover now