─ • Day 6 : Ferita; wound

222 10 0
                                    

Angst Week Day 6
Prompt : Apology

Shinonome Ena ft. Shinonome Akito
Project Sekai © SEGA; Colorful Palette

Words : 691

Warning(s) : Spoiler "Unsatisfied Pale Color" event story, violent, spoiler "Ringing Sounds At the Summer Festival" event story

· ─────── ·♪· ─────── ·

BRUAK!

Tubuh Akito terlonjak kaget tatkala indera menangkap suara kelewat keras yang berasal dari kamar kakak perempuannya. Ini sudah tengah malam, sebenarnya apa yang sedang dilakukannya?

Akito memang mengomel ketika berjalan menuju kamar sang kakak, namun hal tersebut tak menutup fakta bahwa ia merasa khawatir pula.

Baru saja membuka pintu berwarna coklat tersebut, sebuah boneka melayang ke arahnya tanpa aba-aba─untung ia berhasil menghindarinya.

"Tu─Ena, jangan sembarangan melempar barang ke arah─ugh ...!"

"BERISIK! SUDAH KUBILANG JANGAN MASUK SEMBARANGAN!"

Kalimat Akito terputus tatkala kedua tangan Ena tiba-tiba saja berada di lehernya. Kendati tidak terlalu kencang, namun cukup untuk membuat Akito sedikit kesusahan bernapas.

"E-Ena ... le─pas ...."

"KENAPA?! KENAPA AKU DIBERITAHU BAHWA AKU TIDAK MEMILIKI BAKAT?! KENAPA, AKITO?! KENAPA?!" 

Ena berteriak sangat kencang dengan air mata yang mengalir di kedua pipinya; menumpahkan segala beban yang selama ini berada di pundaknya. Sangat pedih untuk didengar.

Akito meringis pelan, bukan karena rasa sakit yang menjalar di lehernya, namun karena rasa sakit yang dirasakannya sebab kalimat Ena barusan. Ia tahu bahwasanya alasan yang membuat kakak perempuannya berseru seperti itu adalah sang ayah─yang menyatakan bahwa Ena tidak memiliki bakat untuk menjadi seniman saat ia masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Bagaimanapun, diberitahu tidak memiliki bakat di bidang yang disukai itu sangat menyakitkan. Akito benar-benar paham.

Maka dari itu, ia bersedia menjadi tempat pelampiasan sang kakak ketika si empu sedang dilanda nestapa. Dilempari boneka, digores dengan kukunya, atau hal lainnya, Akito sama sekali tidak peduli; asal kemudian Ena merasa lebih baik ia sama sekali tak apa.

Rasa sakit di lehernya berangsur-angsur menghilang. Akito yang tadi menutup matanya, kini mulai menampakkan kedua netra zaitunnya; menemukan Ena yang terengah-engah dengan wajah pucat di depannya.

"A-Akito! Ma-ma-maafkan aku! Apa kamu baik-baik saja?!" Shinonome sulung itu bertanya; tak bisa menyembunyikan nada paniknya kala melihat warna merah pada leher adik laki-lakinya yang merupakan karyanya.

Akito terbatuk sedikit sebelum menjawab, "Aku tidak apa-apa. Jangan khawatir."

"Benarkah?" Ena kembali bertanya; memastikan.

Yang ditanya mengangguk mengiyakan.

Gadis bersurai coklat itu menghela napas. "Ma-maaf ..., aku lepas kenda─"

"Tidak usah dipikirkan," Akito memotong kalimat sang kakak. Sembari berbalik kembali menuju ke kamarnya, ia melanjutkan, "aku mau tidur setelah ini. Jadi jangan berisik."

Ena hanya berdiri diam menyaksikan sang adik yang berjalan pergi dengan perasaan bersalah yang tak berhenti mengalir.

· ─────── ·♪· ─────── ·

"Selamat pagi ...." Ena berujar sembari menutup mulutnya dengan telapak tangannya; menguap.

"Pagi. Aku sudah membuatkan sarapan. Tinggal makan saja," balas Akito. Membelakangi sang kakak yang sedang duduk di meja makan sebab sibuk mencuci alat makan yang digunakannya barusan.

Ena lantas mengucapkan terima kasih. Suapan pertamanya berhenti tatkala netra kecoklatannya menangkap plester yang menempel di leher adik laki-lakinya─membawanya kembali ke ingatan semalam.

"A-Akito!"

Yang dipanggil hanya berdehem tanpa menoleh.

"A-anu ..., soal semalam ...." Ia menjeda perkataannya sejenak. Sedikit takut untuk melanjutkan sebab kejadian semalam malah kembali terekam di kepalanya.

"Sudah kubilang, 'kan. Tidak usah dipikirkan. Lagi pula memang sudah sering." Akito lagi-lagi menyela kalimat Ena. Membuat si empu sedikit merasa kesal.

"Hei! Aku mengkhawatirkanmu, lho!" protesnya tidak terima. Setidaknya biarkan ia meminta maaf dengan benar!

"Iya, iya, pagi-pagi sudah berisik."

Keheningan tiba-tiba datang menjadi teman; baik Akito mau pun Ena tidak ada yang mau mengeluarkan barang sepatah aksara, keduanya benar-benar memilih untuk diam.

"Pancake."

Ena langsung menghentikan kegiatan sarapannya. "Apa?"

"Jika kau memang benar-benar ingin meminta maaf padaku, belikan aku pancake yang paling mahal di sekitar sini." Akito kembali menjawab─lebih lengkap dari sebelumnya.

Kedua netra kecoklatan Ena membulat. Ia menatap punggung sang adik yang tengah bersiap keluar dari rumah─berbeda dengannya yang mengambil kelas malam, Akito mengambil kelas pagi yang merupakan kelas seperti pada umumnya─dengan selaput bening yang sudah menghiasi kedua matanya. "Iya, nanti aku belikan."

"Hm."

"Tunggu, bukankah ini sama saja dengan pemerasan?"

"Katakan pada dirimu sendiri yang menyuruhku untuk membelikanmu kue keju paling mahal sebagai imbalan setelah berhasil menemukan sepatuku di Festival Musim Panas Shibuya dulu."

· ─────── ·fin· ─────── ·

ANGST WEEK | RRA COLLABWhere stories live. Discover now