PROLOG

30 14 3
                                        

Semilir angin yang menghembus kencang menggoyangkan pepohonan di sekitar hutan. Rumput-rumput bergoyang berirama. Langit yang tadinya cerah tiba-tiba berubah kelabu. Awan-awan tebal mulai menyelimuti, bergumul dengan cepat menutupi angkasa. Di atas sana, tepat di puncak gunung, dua orang pria sedang duduk bersila.

Seorang dari mereka, pria berambut panjang yang dikuncir ke belakang, memandangi langit yang suram dengan ekspresi cemas. “Sepertinya kita terlambat,” ucap pria itu lirih.

Pria yang lebih tua, dengan rambut yang mulai ditumbuhi uban perlahan membuka matanya yang sedari tadi menutup. Pria tua itu juga memandangi langit di atas mereka dengan tatapan tajam. “Ini akan jadi tambah rumit,” kata pria tua itu sambil kembali memejam.

“Tambah rumit? Ini adalah masalah paling rumit di alam semesta, Apus,” tanggasnya.

“Lebih rumit lagi,” jawab Apus santai.

“Apa maksudmu?”

“Air. Seperti kebanyakan siklus yang telah terjadi. Seperti dugaanku.”

“Kita harus membantu mereka sekarang,” tegas pria berkuncir kuda sambil berdiri. Tangannya mengepal dengan kuat. Matanya memancarkan kebulatan tekad.

“Kita harus tetap pada rencana, Leo. Jangan gegabah atau kita akan merusak segalanya.” Apus kembali membuka matanya, menatap Leo tajam.

Leo balas menatap Apus tajam.

“Jangan seperti manusia, Leo,” lanjut Apus. “Tugas kita adalah melindungi alam semesta, Bumi, dari mereka. Dalam situasi apa pun, kita harus tetap berpikir dingin. Tetap tenang, membaca situasi, berpikir dua langkah ke depan. Gunakan otakmu dengan benar. Atau jangan-jangan kau mulai punya perasaan seperti mereka?”

Baru saja Leo membuka mulut untuk menjawab, sebuah dentuman besar menggetarkan bumi yang mereka pijak. Di tempat yang sangat jauh, sebuah cahaya putih meluncur ke atas langit, menembus gumpalan awan yang menghalangi.

Apus dan Leo mematung di tempat, terperangah menyaksikan apa yang baru saja terjadi di depan mata mereka sampai sebuah gelombang sockwave menyadarkan mereka dari lamunan, mementalkan tubuh mereka dua meter ke belakang.

Leo menatap Apus yang sedang membersihkan pakaiannya dari tanah yang menempel. “Aku rasa rencana itu sudah nggak diperlukan lagi, Apus. Aku yakin yang lainnya juga berpikir demikian.”

“Baiklah. Tapi jangan gegabah.”

Detik berikutnya, mereka menghentak tanah dengan keras. Melejit tinggi. Mereka meluncur terbang ke langit, menembus awan-awan secepat elang.

#Gimana prolognya?
#Vote_Komennyaaaa
#Tinggalkan jejas supaya author tambah semangat upload cerita, Oke?

APIDonde viven las historias. Descúbrelo ahora