Dan sesampainya di rumah, Tea pikir Papi sudah tidur atau paling nggak nya sibuk dengan pekerjaan--- karena Papi tidak menyusul nya ke tempat pesta itu berlangsung, padahal Tea sudah memberitahu lokasi nya. Tapi ternyata, dia salah besar. Papi ada di halaman depan, dengan hanya memakai celana boxer dan kaos oblong, dan berdiri di samping mobil Lamborghini nya, menyambut kedatangan Tea yang langsung terdiam ditempat, seolah-olah sedang ditodong senjata api dengan tatapan tajam yang Papi nya berikan.

Waktu itu Rion hanya diam, tidak berbicara sepatah kata pun. Dia hanya langsung merangkul Tea menuju ke rumah dan mengabaikan setiap kata yang terucap dari bibir Jeno meskipun itu adalah permintaan maaf yang tulus, karena sudah membawa pulang putri kesayangan nya pulang telat. Padahal Jeno tidak salah sebenarnya. Tea berangkat dengan supir pribadi nya dan itu juga atas izin Papi nya.

Dan akibat dari pelanggaran itu, Tea harus hidup tanpa black card dan layanan wifi selama tiga bulan, uang jajan pun hanya di kasih tiga puluh persen dari biasanya. Itu adalah tiga bulan paling lama menurut Tea, karena harus puasa shopping, bahkan hemat jajan supaya bisa beli kuota.

Kemarahan keempat, waktu Papi nya melihat nya gandengan tangan dengan Sean, di sekolah. Akibatnya hampir sama seperti kemarahan ketiga,tapi saat itu Tea juga kehilangan ponselnya selama seminggu karena dirampas Papi.
Dan sepertinya, kemarahan Papi kali ini akan berakibat lebih parah dari sebelum-sebelum nya. Buktinya dia sampai memberi peringatan pada Sean. Makanya, sejak tadi Tea cuma diam bahkan ketika dia sudah sampai di rumah.

“Adrastea, ikut Papi!”

"Mas---"

"Saya hanya berbicara dengan Adrastea." Ucap Rion dengan tegas dan penuh penekanan. Sontak saja Noushin langsung diam dan tidak bergeming, meskipun sebenarnya dia ingin sekali ikut campur.

Dan setelah itu, Rion segera bergegas menuju ruang kerja nya, di susul Tea yang mengikutinya di belakang, dengan jantung yang berdetak berkali-kali lipat lebih kencang, juga keringat dingin yang bercucuran.

Demi Tuhan, kepergian mereka membuat Noushin benar-benar takut kalau Rion akan kehilangan kendali dan membuat Tea kenapa-napa. Tapi sekali lagi, Noushin tidak bisa berbuat apa-apa sebab, dia tidak memiliki hak.

"Ya Tuhan... Aku harus ngapain." Gumam Noushin sambil hilir-mudik tidak karuan.

***

"Duduk." Titah Rion begitu dia dan putrinya sudah berada di ruangan kerja nya. Tea pun menurutinya.

Mereka duduk berhadapan. Tatapan Rion tajam, bak seokar elang yang siap menerkam mangsanya. Sementara itu, Tea menunduk takut, gadis itu sama sekali tidak berani, barang sedetik pun, untuk menatap kedua mata Ayah nya.

"Udah berapa kali kamu pergi tanpa seizin Papi?" Tanya Rion langsung pada intinya.

Tea masih bungkam, dia takut. Kalau berkata jujur, Papi akan memarahi nya. Tapi kalau berbohong, percuma. Karena sepertinya Papi sudah tahu semua.

"Jawab Adrastea!"

"Hng... I... Itu---"

"Berkali-kali. Oke, itu jawaban nya." Simpul Rion.

"Enggak, Pi. Beberapa kali doang." Tea mendongak sebentar untuk membela diri. Karena memang Sean enggak sesering itu mengajak nya jalan.

"Oke. Beberapa kali. Udah seberapa jauh hubungan kalian?" Tea langsung menunduk lagi.

"Kita... Hng... Maksud nya... Aku sama dia... cuma teman kok, Pi."

"Oh... Teman." Rion manggut-manggut, sebelum kemudian mengambil i-pad yang ada di samping nya.

Me vs PapiWhere stories live. Discover now