Karena Papi Berhak

727 124 13
                                    

Hari terakhir libur panjang, Tea memilih untuk menghabiskan waktu dengan Gaby. Mereka keluar untuk mengunjungi Dufan, ditemani dengan salah satu Bodyguard yang sengaja Rion suruh untuk menjaga dua anak gadis tersebut. Maklum saja, salah satu dari mereka ada anak sultan yang perlu dilindungi keberadaan nya.

Usai bersenang-seneng di Dufan, dua gadis itu memilih rehat sejenak di salah satu cafe. Tentu nya, Bodyguard yang Rion suruh tetap mengintili, meskipun keberadaan nya sedikit jauh dari mereka.

Tea mengesah napas panjang seraya mengaduk-ngaduk jus strawberry yang dia pesan. Wajahnya cemberut karena tiba-tiba dia teringat kalau Papi akan segera menikah.

"Muka lo kenapa jadi asem gitu?" Tanya Gaby heran. Tentu saja, beberapa menit yang lalu Tea haha-hihi dengan nya, bahkan terlihat tanpa beban pikiran yang menempa saat menaiki beberapa wahana ekstream. Tapi sekarang wajahnya berbanding terbalik.

"Tea?"

"Papi,"

"Papi kenapa? Sakit?"

"Ih jangan dong."

"Kan gue nanya, Tete." Tea mendengus, panggilan itu, Tea benci mendengarnya, tapi Gaby suka memanggilnya kalau lagi gemas.

"Astaga..... Kenapa sih Tea?" Bukan nya menjawab, Tea malah menyembunyikan wajahnya pada kedua tangan nya sendiru yang dilipat diatas meja, lantas terisak, sampai-sampai Gaby langsung mendekat dan menepuk-nepuk punggung nya pelan.

"Ya Tuhan... Tea, Papi kenapa sih? Lo cerita coba sama gue, biar gue tau---"

"Papi mau menikah, Gaby." Ujar Tea disela-sela isak tangis nya yang semakin menjadi. Sementara itu, bukan nya merespons, Gaby malah diam mematung, dia speechless.

"Lo tahu kan, gue emang mengharapkan Papi menikah, biar gue punya Mami. Tapi---"

"Lo senang, tapi sedih diwaktu yang sama?" Tanya Gaby yang kesadaran nya sudah kembali. Pertanyaan itu kontan diangguki Tea.

Merasa tahu bagaimana perasaan itu, meskipun belum pernah merasakan nya, Gaby semakin mendekatkan dirinya seraya terus berusaha menenangkan Tea, dia bahkan merangkul tubuh Tea yang masih menyembunyikan wajahnya di meja.

"Gue ngerti kok. Soalnya selama ini lo selalu sama Papi. Lo pasti takut kalau nanti Papi berubah atau apalah itu." Tea mengangguk lagi. Air matanya semakin deras mengalir.

"Gue kalau jadi lo juga gitu, kok. Tapi udah dong jangan nangis terus, gue sedih lihat nya." Maka Tea segera mengangkat kepalanya. Wajahnya merah dan air matanya masih terus membasahi pipinya. Gaby yang meskipun suka bar-bar tapi sebenarnya dia memiliki hati yang lembut, dia langsung membawa sahabat rasa kembarannya kedalam pelukan, lantas menangis bersama-sama.

"Kenapa lo juga ikutan nangis, Gab?"

"Gue sedih anjir. Lo tahu nggak sih, kadang-kadang gue suka nangis kalau mikirin lo. Meskipun lo punya segala nya, tapi lo hidup tanpa sosok Ibu dari umur sehari, lo cuma punya Papi Rion yang emang sayang banget sih, tapi kadang-kadang sibuk sama kerjaan nya, sampai lo suka kesepian dan berujung ngerusuhin gue. Terus sekarang Papi mau nikah, gue senang, tapi gue mikirin lo. Kalau nanti Ibu tiri lo jahatin lo gimana? Ya Tuhan... Gue nggak mau lo terluka Tea..." Tangisan Gaby semakin pecah, bahkan lebih dari tangisan Tea yang sebelum nya.

"Gaby... Ini tempat umum udah dong lo jangan ikutan nangis juga,"

"Bodo amat."

"Yaudah, gue nggak apa-apa kok. Gue senang, akhirnya Papi bisa mencintai lagi setelah ditinggal Mami belasan tahun."

"Hati lo terbuat dari apa sih, Te? Kok bisa sih semudah itu? Ya iya, ini emang keinginan lo sejak lama, tapi kalau gue jadi lo, anjir gue mending milih Papa jadi duda selama nya."

Me vs PapiΌπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα