Cinta Pertama

Mulai dari awal
                                    

Tuhan selalu tau, kapan kamu harus bahagia.

Nayla, ia adalah perempuan yang sering menangis karena putus cinta. Walau begitu, dia perempuan yang hebat. Nayla, ia adalah kotak bahagia yang dikirim Tuhan kepadaku dan kini Tuhan menambahkan satu kotak bahagia lagi, yaitu Bima.

***

Bima menjemputku dengan motor vespa birunya, motornya terlihat sudah butut, entah itu adalah peninggalan kakeknya atau memang dia tergolong orang yang suka memakai barang antik. Tapi keren, walau terlihat butut, motornya masih terlihat gagah sama seperti yang mengendarainya. Bima memakai hodie hitam itu lagi dan seketika memoriku mengingat hari itu, aku menahan senyumku yang ingin sumringah.

"Udah siap? yuk," ujarnya diatas motor yang terparkir di depan gerbang rumahku.

"Bim, aku ga punya jersey, gpp kan kalo pake kaus gambar sizuka gini? nanti aku buat malu kamu depan teman-temanmu, gimana?" aku bertanya sebab tak tau harus bersikap bagaimana, baru seminggu lalu aku mengenalnya, aku tidak tau bagaimana seharusnya sikap yang layak saat bersama dengannya, aku hanya tidak mau jika nanti aku membuatnya malu atau bahkan menyulitkannya, aku takut jika nanti teman-teman Bima tidak bisa menerimaku dan aku juga sebenarnya ragu, apakah Bima masih sendiri atau sudah punya pasangan, aku takut hubungan pertemanan yang belum lama ini bisa membuat Bima mempunyai permasalahan yang rumit dengan pacarnya, sebab itu aku bertanya untuk memastikan.

"Malu-maluin? masa bawa cw cantik gini malu-maluin sih, ya gak mungkinlah."

Jawaban dari Bima seketika membuat dadaku lega dan yang mengesalkan adalah, aku tidak bisa menahan senyumku saat ini, oh Tuhan mengapa aku bisa sesenang ini hanya dibilang cantik olehnya? Sepertinya aku sudah benar-benar gila, aku seperti bukan seorang Naira yang sekarang, ya—ini persis seperti Naira yang dulu, Naira yang mudah sekali tersenyum sebab seutas pujian. Dulu, hanya ayah yang suka melontarkan pujian seperti ini, tetapi sejak ia pergi aku tidak pernah mendapatkannya lagi, ibuku bukan tipikal yang humornya dengan pujian begitu juga Nayla, tetapi kini aku mendengarnya lagi. Apakah aku kini berhasil mengembalikan duniaku yang dulu? Oh, bukan aku tetapi Bima, ya, jika duniaku yang dulu benar-benar kembali, itu sebab Bima, Bima yang menciptakannya lagi untukku.

"Aku serius, Bim."

"Gpp Nai, lagipula nanti cuma ada kita kok."

"Hah? berdua aja? memangnya kita main dimana?" ya, aku tau ini pertanyaan yang sangat bodoh.

"Yaa di hall badminton, Nai, masa main dipantai, udah hayuk atuh naik biar cepet sampai."

"Iya, iya, pelan-pelan bawanya."

"Siap, Neng Geulis." ujarnya yang lagi-lagi mampu membuatku tersipu malu.

Diperjalanan, kami ditemani angin yang lumayan kencang. Bima mengendarai motornya dengan pelan, sambil sesekali mengambil obrolan.

"Nai, kalo tiap weekend kita kayak gini terus, mau?" tanyanya setengah berteriak untuk melawan angin.

"Tergantung," kataku yang juga setengah berteriak.

"Tergantung apa?"

"Tergantung, kamu bisa buat aku happy apa enggak." Oh shit! Kalimat terkutuk apa yang kini keluar dari lisanku? Untuk apa aku berbicara seperti itu, untuk apa Naira? Oh ya tuhan.

"Itumah gampaaang." ujarnya yang mampu membuatku diam-diam menyembunyikan senyum tersipu dibalik punggungnya, aku bisa merasakan kalau pipiku panas, sepertinya sudah terlukiskan persona merah jambu disana, semoga saja Bima tidak melihatku dari kaca spion.

***

Hallnya bersih dan lumayan besar, terdapat dua lapangan disana, tetapi sepi, di hall ini benar-benar cuma ada aku dan Bima, tidak ada yang berlatih, tidak ada pelatih dan tribunnya pun tidak ada penonton. Aku rasa tidak ada salahnya jika aku bertanya, sebab akhir pekan seperti ini adalah waktu yang sangat pas untuk dinikmati para pelajar untuk berolahraga namun jika hallnya sepi seperti ini, bukankah terdapat alasannya?

BARA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang