"Raiden!" Mereka berdua berlari mendekat, menghampiri Raiden yang tengah didekap oleh sang ibu.

"Mana Raiden?" Suara Jayden menyusul, pria itu berlari mendekat, mendapati putra bungsunya yang menangis tersendu-sendu tampak sekali jika sedang ketakutan, membuat Jayden tertegun melihatnya.

Beralih pandangan pada istrinya, Jayden langsung melontarkan pertanyaan. "Dera, apa yang terjadi? Kenapa anak saya menangis?"

"Aku tidak tau, Jay, mungkin Raiden takut gelap, atau jika bukan karena petir barusan," jawab Dera yang juga tak tahu penyebab kenapa Raiden tiba-tiba meringkuk dan menangis.

Jansen dan Jean saling berpandangan. Itulah sebabnya mereka segera mencari Raiden ketika listrik tiba-tiba padam, karena mereka tahu jika adik kecilnya itu sangat takut dengan gelap, akibat pengalaman buruk yang pernah mereka alami dulu.

"Ya sudah, bawa Raiden ke kamarnya, saya akan menghidupkan genset dulu untuk menyalakan lampunya. Jansen, Jean, temani Raiden di kamar selagi lampunya belum hidup, tetap nyalakan senter dan jangan kemana-mana, paham 'kan?" ujar Jayden, segera dibalas anggukan oleh kedua pemuda itu.

"Jay, akan lebih baik untuk di ruang tengah terlebih dahulu, kamar Raiden ada di atas, pasti akan terdengar jelas suara dan kilatan petir," usul Dera, membuat Jayden yang hendak pergi pun mengurungkan diri.

Pria itu mengangguk. "Kamu benar, kalau begitu pergi ke ruang tengah lebih dulu," ujar Jayden.

Dera segera mengangguk, membawa Raiden yang masih ia dekap untuk pergi ke ruang tengah, diikuti oleh Jansen dan Jean.

Setelah beberapa menit menunggu Jayden selesai menghidupkan genset, akhirnya semua penerangan di rumah kembali menyala, dan karena sudah ditenangkan oleh ibu serta kedua kakaknya pun, tangis Raiden tak lagi terdengar, hanya saja pemuda itu masih diam, enggan melepaskan diri dari pelukan ibunya.

Mereka yang berada di ruang tengah pun dapat bernapas lega karena akhirnya lampu kembali menyala.

"Udah, nggak apa-apa, lampunya udah hidup lagi, Raiden jangan takut, ya? Kan ada Mommy di sini, ada kakak kamu juga," ujar Dera, mengusap lembut surai Raiden.

"Raiden cengeng ya, Mommy?" tanya Raiden, mendongak pada Dera dengan mata berkaca-kaca.

Dera tersenyum, mengusap poni Raiden yang basah. "Enggak tuh. Siapa coba bilang anaknya Mommy yang pinter ini cengeng, hm?"

"Siapa aja boleh kok buat nangis, mau laki-laki atau perempuan. Menangis itu salah satu tanda kalau kita punya solusi lain untuk menghadapi masalah tanpa berniat untuk lari dari masalah itu sendiri. Jadi, kita kalau mau nangis, nangis aja, nggak usah ditahan, jangan takut dibilang cengeng, oke?" ujar Dera dengan bubuhan senyum di setiap ucapannya, menatap ketiga putranya bergantian.

Raiden mengangguk-angguk dan tersenyum, tanpa melepaskan pelukannya, pemuda itu menoleh pada sang kakak.

"Kak Jansen pernah nangis, nggak?" tanyanya tiba-tiba, membuat Jansen terkejut.

Menoleh pada Jansen, Jean mengulum senyumnya, terlebih saat wajah Jansen memerah secara tiba-tiba.

"Kenapa nanya begitu?" tanya Jansen balik, pura-pura membuang muka karena malu, teringat ia pernah menangis tersendu-sendu di pelukan Dera kala itu.

"Pernah, malah Kak Jansen kalau nangis, kerasnya ngalahin kita," ujar Jean, membuat Jansen menoleh kilat padanya.

Raiden tersenyum. "Bener ya, Kak?" tanyanya pada Jansen.

"Enggak. Kak Jean sendiri yang nangisnya paling keras, tapi malah nuduh Kakak, tanyain coba sama orangnya," ujar Jansen, giliran menuding Jean balik, membuat Jean membelalak, segera menggeleng cepat, mendorong tubuh Jansen dengan lengannya.

AffectionWhere stories live. Discover now