BAB EMPAT PULUH DUA

10.3K 661 10
                                    

Desahan tertekan keluar dari pemuda yang tengah duduk bersila di atas karpet ruang tengah bersama sang ibu yang duduk di depannya sibuk memoleskan mahakarya di wajah tampannya— yang kini berubah menjadi cantik, akibat ulah sang ibu.

Sedang dua saudaranya yang lain hanya bisa mengulum bibir, menahan tawa yang ingin meledak, karena melihat ekspresi memelas sang kakak ditambah dandanannya yang hampir terlihat seperti ondel-ondel.

"Mommy ...," rengek pemuda itu untuk kesekian kalinya.

"Hm?" sahut Dera, menaikkan kedua alis tanpa mengalihkan perhatian dari hasil pengaplikasian blush on-nya.

"Udah ... aku malu ...," rengek pemuda itu lagi, hampir menangis karena sangat-sangat risih dengan alat kecantikan yang dioleskan Dera pada wajahnya.

"Sebentar ya, hampir selesai kok," sahut Dera dengan entengnya, sama sekali tidak peka dengan raut wajah Jansen yang sudah semasam jeruk purut.

"Pffftt—" Suara tawa yang tertahan kembali Jansen dengar dari kedua adiknya yang tengah menonton tanpa berniat menolongnya.

Pemuda itu menggerakkan bola mata, menatap Jean dan Raiden dengan tatapan kesal, seolah mengatakan, "Awas ya, kalian berdua." lewat tatapan matanya.

Padahal baru satu setengah jam yang lalu Jayden keluar, dan berpesan, "Daddy keluar dulu ya, boys, jangan kemana-mana, tetap di rumah dan jaga Mommy, Daddy tidak akan lama."

Karena itu, Jansen mengurungkan diri untuk pergi berlatih band bersama teman-temannya, dan memilih di rumah hingga sang ayah pulang, namun sekarang ia malah berakhir seperti ini.

"Mom, aku cowok loh, kalau Mommy lupa ...," rengek Jansen lagi, berharap ibunya itu berhenti.

Mengabaikan ucapan Jansen, Dera meletakkan blush brush di tangannya, lalu memperhatikan wajah Jansen yang kini terlihat cantik. Mengulas senyum senang, wanita itu mengangguk. "Selain ganteng, ternyata kamu juga bisa cantik," puji Dera, namun terdengar seperti ledekan di telinga Jansen.

Pemuda itu merengek, menutupi wajahnya dengan tangan. "Mommy, malu ..."

Saking malunya, ia sampai ingin menangis sambil kayang.

Tak lagi dapat menahan, tawa Jean meledak dengan keras. Pemuda itu terpingkal-pingkal memegangi perut. Wajah Jansen benar-benar mirip seperti ondel-ondel, Jean tak kuasa untuk melihatnya.

"Kakak cantik banget!" seru Raiden ikut terbahak seperti Jean.

Sedang Jansen hanya mendengkus kesal. "Dihilangin ya, Mom ...," mohonnya, memasang puppy eyes.

Dera menggeleng cepat. "No, no, no, Mommy foto dulu," larang Dera, wanita itu menyapu pandangan mencari ponselnya.

Jansen kontan memasang wajah sedih. "Mommy ...," rengeknya memelas. Merasa tertekan karena tidak ada yang bisa menolongnya, meminta bantuan kedua adiknya pun mereka berdua malah tertawa seperti tanpa dosa. Berkali-kali merengek juga tak digubris sama sekali oleh Dera.

Kenapa harus ia yang menjadi tumbal dari permintaan aneh ibunya?

Raut wajah Jansen semakin masam ketika Dera mengarahkan kamera padanya.

"Kok cemberut gitu? Ayo dong senyum," pinta Dera dengan ekspresi yang membuat Jansen berat sekali untuk menolak.

Astaga, calon adiknya ini masih berada di dalam perut sudah membuatnya frustrasi, apakabar jika sudah terlahir nanti? Jansen ingin menangis.

Menoleh pada Jean dan Raiden, Jansen memberi kode agar keduanya membantu, namun mereka malah menggeleng dan berkata, "Ayo dong, Sen, senyum yang manis," titah Jean, membuat Jansen geram ingin menggaet leher pemuda itu dan mengapitnya di ketiak.

AffectionWhere stories live. Discover now