7: Bulan Depan?

739 134 6
                                    

Chenle memperhatikan suasana hangat yang melingkupi ruang makan malam ini. Chenle mengundang ayah dan ibu Jisung untuk makan malam di rumahnya, lebih tepatnya di rumah Keluarga Zhong. Ini adalah yang kelima kalinya ayahnya dan orang tua Jisung bertemu dalam makan malam seperti ini. Oh, tidak lupa juga ayah Jeno juga hadir. Chenle tidak akan meninggalkan ayah Jeno kesepian, sudah merupakan tanggung jawabnya untuk memastikan ayah Jeno merasa nyaman berada di rumahnya.

"Chenle-ya," ibu Jisung yang duduk di sebelah Chenle—hasil berebut dengan Jisung—berbisik seraya mencolek bahu calon menantunya. Chenle menoleh dan tersenyum kecil. "Ada apa, Eommonim?"

"Ini," ibu Jisung mengeluarkan kotak yang sedikit besar dari pouch yang dibawanya. "Untukmu. Bukalah."

Chenle menerima kotak tersebut dan membukanya. Senyumnya terulas begitu melihat sepasang dangle earrings berada di dalam kotak tersebut.

"Eommonim memasukkan kotak ini ke dalam pouch Eommonim?" Chenle terkekeh melihat kotak yang sedikit lebih besar dari pouch ibu Jisung.

"Memaksanya masuk." Ibu Jisung ikut terkekeh.

"Terima kasih, Eommonim."

"Aku harap kau akan memakainya di pernikahanmu." Tangan ibu Jisung terulur untuk mengusap tangan Chenle.

Perkataan ibu Jisung membuat Chenle terdiam. Sudah hampir satu tahun, Chenle jadi merasa tidak enak dengan Jisung dan keluarganya. Mereka sangat menantikan momen di mana Jisung dan dia mengikat satu sama lain dengan janji di hadapan Tuhan dan orang-orang yang mereka sayangi. Chenle juga menantikan momen itu, tetapi dia merasa belum siap. Bagaimana jika dia mengecewakan Jisung? Dia tidak bisa memasak, payah dalam urusan rumah tangga, selalu bergantung kepada asisten rumah tangganya...

"Ada apa?"

Lamunan Chenle buyar kala ibu Jisung bertanya kepadanya. Chenle hendak mengelak, tetapi dengan cepat dia sadar bahwa satu-satunya orang yang bisa memberinya masukkan adalah ibu Jisung.

"Itu... aku belum yakin apa aku bisa menjadi pendamping yang baik. Aku ingin menjadi pendamping yang baik, tetapi... aku masih memiliki banyak kekurangan." Chenle terkekeh hampa di akhir perkataannya.

"Aigoo, lumba-lumba kecilku." Ibu Jisung meraih tangan Chenle dan menggenggamnya. "Ketakutanmu adalah hal yang normal. Aku juga merasakannya sebelum menikahi ayah Jisung. Bagaimana jika dia mendengar dengkuranku ketika aku tidur? Dia tidak tahu fakta itu sebelum kami menikah atau bagaimana jika dia tahu bahwa aku suka mengigau, menendang, oh... suka mencampur kentang goreng dengan es krim?" Ibu Jisung terkekeh, membuat Chenle turut terkekeh.

"Kau bisa belajar seiring berjalannya pernikahan, atau memupuk semua itu sebelum kau menikah. Jisung bilang kau belajar memasak, itu awal yang bagus. Itu berarti kau setidaknya sudah seperempat siap menjalani pernikahan. Kau bukan kanvas kosong yang membuat bingung ingin diisi oleh apa, kau adalah sebuah sketsa. Hanya tinggal diwarnai dan diberi tanda tangan sebelum dipamerkan." Genggaman ibu Jisung mengerat. "Lagipula, Jisung juga memiliki kekurangan dan oh! Jangan buat aku bercerita seberapa banyak dia mengoceh tentang ketakutannya dalam menghadapi pernikahan. Namun, dia mencintaimu, sangat. Dia tidak pernah ingin memiliki apapun sebesar dia menginginkanmu, lumba-lumba kecilku."

Chenle termenung beberapa saat. Jisung tidak pernah bercerita tentang ketakutannya, pria itu selalu bersikap seolah dia sangat siap dan percaya diri. Namun, meski mereka sudah berjanji akan menceritakan apapun masalah yang mereka hadapi, tampaknya mereka masih belum bisa menceritakan ketakutan yang mereka miliki. Sebuah senyum sendu terulas tanpa disadari oleh Chenle. Dia selalu ingin Jisung hanya melihat sisi terbaiknya, tampaknya Jisung juga menginginkan hal yang sama.

Sailing [JiChen | ChenJi] ✓Where stories live. Discover now