3: Mungkin Lain Waktu Akan Lebih Baik

831 133 7
                                    

Chenle menghempaskan diri ke atas ranjangnya dan menghembuskan nafasnya dengan penuh kelegaan. Masalah cabang Boston akhirnya selesai setelah tiga hari, Chenle hampir tidak tidur selama tiga hari dan sekarang dia mendapat istirahat yang pantas dia dapatkan.

"Kerja bagus, Hoejangnim."

Chenle mengernyit heran, "Kenapa formal sekali? Kita sudah di hotel."

"Ingin mengucapkannya sebagai sekretarismu dan sekarang sebagai teman. Akhirnya selesai!" Renjun turut menghempaskan tubuhnya di sebelah Chenle. Tubuh lelaki itu menggeliat mendekati Chenle, kemudian merengkuh yang lebih muda ke dalam pelukannya.

"Hyung, lepas." Chenle menggeliat kecil berusaha melepaskan diri dari Renjun.

"Aku kedinginan Chenle~ Dingin sekali~" Renjun berbicara dengan nada manja seraya mengeratkan pelukannya pada Chenle.

Chenle yang merasakan getaran di saku celananya merogoh ponselnya, mengangkat panggilan masuk, dan menyalakan mode speaker.

"Siapa?"

"Kau lupa nada dering khusus untukku?"

Chenle membuka mulutnya, menyadari bahwa yang menghubunginya adalah Jisung. "Aku lupa mengubah mode getarnya. Ak! Hyung, terlalu erat!"

"Apa yang Renjun Hyung lakukan?"

Renjun mendekatkan mulutnya dengan ponsel Chenle. "Andy Park, biarkan aku meminjam tunanganmu untuk dipeluk, dingin sekali di sini." Renjun menjawab.

"Oh, tidak apa. Asal hatinya tidak kau ambil saja, Hyung."

Tubuh Chenle membeku dan wajahnya terlihat dan terasa seperti lobster panggang, merah dan panas. Wajahnya Chenle benamkan di ranjang untuk dia sembunyikan. Sementara Renjun yang juga mendengar mengernyit masam. "Ew. Yak, sudah tidak ada yang merayu seperti itu."

"Lame or not, aku bertaruh tunanganku merona."

Renjun melirik Chenle yang masih membenamkan wajahnya di ranjang, kemudian mendengus. "Aku akan hanya jadi nyamuk jika di sini. Aku ada di lobi jika kau mencari." Renjun menjauhi Chenle dan bangun untuk melangkah keluar dari kamar.

"Apa Renjun Hyung sudah pergi?"

"Hm, sudah."

Chenle bangun, mengubah posisi tidurnya menjadi duduk. "Bagaimana kabar Abonim?"

"Sayang, kenapa kau tidak menanyakan kabarku?"

Chenle memandang ponselnya datar. "Kau terdengar baik-baik saja."

"Jangan menilai dari luarnya saja. Aku kedinginan di sini." Jisung di seberang sana berbicara dengan nada manja.

"Kau di Thailand, astaga..." Chenle memijat batang hidungnya. "Park Jisung, kau cerdas, jadi carilah kebohongan yang bisa kupercaya."

"Ini bukan kebohongan. Aku kedinginan tanpa kehangatanmu."

Chenle mengusap wajahnya. Jisung tidak pernah melemparkan rayuan seperti ini, seeprtinya tunangannya baru saja diberikan saran aneh oleh seseorang.

"Jisung, dengar. Aku tidak suka rayuan murahan seperti itu."

"Eh? Benarkah? Tapi aku yakin kau pasti merona malu."

"Ya, malu. Malu karena kau ternyata menyukai rayuan murah." Chenle membalas.

"Tunggu sebentar, sayang."

Chenle mendengar suara yang sedikit rusuh, sepertinya Jisung meletakkan ponselnya di suatu tempat. Kemudian Chenle dapat mendengar suara Jisung yang terdengar sedikit jauh, kemudian Chenle mendengar suara berat yang familiar menertawakan Jisung. Chenle rasa itu adalah ayah Jisung.

Sailing [JiChen | ChenJi] ✓Where stories live. Discover now