"Naira, nanti siang makan apa?"

Temanku mengganggu aktivitas jariku diatas keyboard, aku suka geram padanya. Ia adalah rekan kerja yang sangat dekat padaku.

"Sayur asem mungkin." jawabku sekenanya karena aku begitu fokus di layar komputer.

"Warung Si Mbok? Ah elah bosen gw, makan gudeg aja yuk."

"Aku gak suka Nay."

Nayla adalah orang yang gemar sekali meributkan suatu hal yang seharusnya tidak perlu diributkan, perkara makan saja bahasannya sampai panjang kali lebar. Tapi karena itu, aku bisa akrab dengannya.Akhirnya setelah perdebatan yang lumayan panjang, aku dan Nayla memutuskan untuk makan siang di Warteg bu Rahma. Nayla memesan rendang sedangkan aku nasi dan sayur lodeh.

Ia Nayla, perempuan yang aku kenal sedari magang. Perempuan yang terus mendekatiku tanpa lelah, terus berbicara padaku tanpa kehabisan topik, terus mencariku jika sehari saja aku tidak masuk bekerja, ia perempuan yang terus mengusikku, tak kenal waktu, tak kenal hari dan tak kenal tempat. Sejak itu, aku menutup diri pada siapapun, tak pernah sedikitpun aku memiliki keinginan untuk membangun relasi dengan manusia manapun, aku sering menghindarinya, sering menyumput dibalik dinding kantor, di kamar mandi kantor dan sering melarikan diri ke rooftop gedung, tetapi ia selalu bisa menangkapku. Ia tak pernah kenal lelah mengajakku berkenalan dan mengakrabkan diri, aku sempat memaki kalau aku tak suka berteman, tak suka siapapun masuk dalam hidupku, terlibat pada duniaku yang sebenarnya pun aku tidak tau ada dimana, tetapi katanya, "berteman memang melelahkan, tapi apa salahnya menerima orang yang mau masuk ke duniamu, siapa tau kamu bisa menemukan kebahagiaan yang baru, untung-untung bila luka bisa terhapus,". Ia berbicara luka, seakan menebak gelagatku yang anti manusia, aku menatapnya penuh emosi, siapa dia yang seakan mengetahui luka yang kupunya, "bukan urusanmu!" kataku penuh penekanan.

"Gw nge-drugs asal lo tau," aku tercengang, bagaimana bisa seorang yang aktif mendekatiku ini adalah seorang pemakai? Lalu bagaimana ia bisa masuk ke perusahaan ini? Aku menyimpulkan jika ia bercanda.

"Bukan urusan saya, lagipula jika kamu pemakai bagaimana bisa ada dikantor ini?"

"Ahahaha, lo bisa nanya juga?"

Sudah kutebak, ia hanya memancing aku untuk berbicara lebih lama kepadanya, lantas aku beranjak pergi meninggalkannya, namun sia-sia, ia terus membuntuti. Ia berujar dari belakangku,

"Gw mantan, dulu pas gw usia tujuh belas tahun gw terjebak, oh enggak lebih tepatnya dijebak dan yah gua kecanduan, yang sampai pada akhirnya nyokap gw tau dan membawa gw ke rehabilitas, tenang aja, gw udah sembuh setahun lalu,".

Aku yang berjalan didepannya jelas terkejut, tapi tak jua aku membalikkan diri dan menyamakan langkah. Aku hanya terdiam dan ia melanjutkan bicaranya,

"Gw pernah ada diposisi lo, gw pernah memusuhi dunia, menjauhi manusia dan hanya hidup bagai diri tanpa nyawa, tapi pada akhirnya gw menyadari kalau gw bukan seorang pelaku, tapi gw adalah seorang korban yang suatu saat akan membalaskan dendam pada orang-orang biadap yang telah menjebak gw tiga tahun lalu, karena itu gw memutuskan untuk menjalani hidup sebagaimana mestinya, sebagai manusia yang terlihat baik-baik saja walau sebenarnya kacau-balau, hancur-lebur, dan cerai-berai."

Kini, aku sampai pada halte bus. Tak ada alasan untuk aku terus melangkah didepannya. Kini kami duduk bersebelahan, aku masih bergeming, ia melanjutkan bicaranya.

"Naira, nama lo Naira, kan? Ahaha nama kita aja hampir sama. Naira dan Nayla, bukankah sudah sepatutnya kita berteman?", aku tetap tidak menanggapi.

Sejujurnya aku penasaran dengan perempuan ini, sudah lama tidak ada yang mengajakku mengobrol seperti ini, tetapi aku ragu dan takut, bila ia hanya akan menambah sederetan gundah pada hidupku. Ia melanjutkan bicaranya,

BARA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang