Hanifah In Fantascroller Academy

Mulai dari awal
                                    

"Pagi semuanya, kita kedatangan tamu untuk ikut dalam kelas hari ini. Aku tidak perlu memperkenalkan mereka, karena kalian sudah pasti mengenalnya." Profesor Mcconaughey menoleh pada enam orang itu. "Kalian bisa duduk di kursi yang kosong."

Aku tidak keberatan jika mereka ikut dalam kelas hari ini bersama kami, tapi yang menjadi pertanyaanku, mengapa keenam orang itu tidak pernah satu kali pun berada di kelas yang sama dengan murid-murid lainnya? Apakah ini peraturan baru sekolah? Atau keenam orang itu sedang merencanakan sesuatu?

Kelas berakhir seperti biasanya, anehnya para Sorcerer sama sekali tidak menggunakan sihir mereka selama pelajaran. Mereka justru seakan sedang mengamati kami selagi menggunakan kekuatan sihir. Setidaknya, aku tidak mengacau dengan mantraku kali ini, tentu saja dark magic dan curse object adalah keahlianku. Jika tadi adalah kelas lainnya, sudah pasti aku akan mengacau karena keahlian sihirku yang agak payah.

"Hey! Bagaimana rasanya satu kelas dengan para Sorcerer?" Talitha muncul entah dari mana, senyumnya melebar dengan ekspresi yang penasaran.

"Biasa saja," jawabku.

"Yang benar? Kelas kalian yang jadi satu-satunya pernah merasakan satu kelas dengan para Sorcerer, loh!"

"Tahu dari mana kau?" tanyaku balik.

Talitha menaikkan sebelah alisnya. "Kau tahu, berita menyebar sangat cepat."

"Biasa saja, tapi cukup aneh," gumamku pelan.

"Apa?" ujarnya yang tidak mendengar ucapakanku.

"Mereka sama sekali tidak melakukan apa-apa, maksudku mereka tidak menggunakan sihir. Rasanya seperti mereka mengamati kita seolah ada sesuatu yang mereka sedang cari," jelasku.

Terdiam, ekspresi Talitha tiba-tiba berubah. Dia kemudian menarikku ke sudut sambil menoleh kanan dan kiri, seolah memastikan tidak ada yang memerhatikan kami. "Mereka mengamati kalian?" tanyanya.

"Ya, ada apa? Kau terlihat mencurigakan. Seolah tahu apa yang sedang mereka lakukan," kataku curiga.

Sambil menunduk, Talitha berbicara dengan nada rendah. "Kau ingat saat aku bilang ketinggalan dua kelas Profesor Gregory karena sakit?"

"Ya."

"Aku berbohong," tambahnya.

Aku terdiam sesaat, tidak mengerti apa hubungannya semua ini dengan para Sorcerer. "Dan ... aku tidak mendapatkan kedua hal itu saling berhubungan."

Talitha menoleh ke kanan dan kiri kembali. "Aku mengambil sesuatu dari mereka." Membuka tasnya, sesuatu bercahaya muncul dari sana, bentuknya bulat bagaikan bola kristal. Cepat-cepat dia menutupnya kembali. "Benda ini kemungkinan yang mereka cari."

"Dan kau harus mengembalikannya," kataku. Benar-benar tidak percaya dia melakukan hal itu.

"Aku mencoba untuk mengembalikannya kemarin, namun sesuatu menarikku untuk mengambilnya kembali. Seolah benda itu yang membuatku untuk mengambilnya. Dan, aku dengar para Sorcerer berdebat dan mengatakan bahwa benda itu adalah sumber sihir murni."

"Apa pun itu, kau harus mengembalikannya. Terutama jika itu adalah sihir murni. Kita tidak bisa menggunakan sihir sekuat itu, tubuh kita akan hancur karena energinya." Kuyakinkan Talitha untuk mengembalikan benda apa pun yang dia curi itu.

Menarik napas panjang, Talitha seolah tidak mau mengalah. "Tidak, sampai aku tahu benda apa ini." Dia kemudian berjalan dengan kesal.

"Kau mau ke mana?" sorakku.

"Tempat di mana aku bisa mencari jawaban apa pun, perpustakaan."

Jujur saja, jika Talitha bukan temanku, aku tidak akan membantunya. Tapi aku juga tidak bisa membiarkan dia terluka jika sesuatu terjadi karena benda itu. Jadi, kuikuti dirinya menuju perpustakaan Akademi yang letaknya berada di gedung bagian barat.

Setelah mencari selama dua jam lebih, alhasil kami tidak menemukan apa pun yang bahkan merujuk pada sumber sihir murni berbentuk bola kristal. "Mungkin lebih baik kau mengembalikannya," pintaku.

Talihta yang masih membenamkan dirinya di tumpukan buku, tidak memedulikanku. Wajahnya semakin serius saat dia membalik halaman selanjutnya. "Dengar, sihir murni adalah sihir yang berasal dari pada elf dan peri. Manusia tidak bisa menggunakannya kecuali mereka memiliki darah keturunan elf dan peri."

"Ya, kita sudah tahu bagian itu," ketusku.

Matanya tertuju padaku karena menginterupsi. "Aku belum selesai," ujarnya kesal. "Setiap seribu tahun pada bulan purnama di musim panas, mereka yang terlahir dengan sihir murni harus mengingat jiwa-jiwa manusia tanpa sihir untuk memperkuat sihir mereka. Tidak seperti elf dan peri yang dapat mengendalikan sihir dengan sempurna, bagi mereka yang hanya memiliki setengah darah keturunan, dapat dikendalikan oleh sihir itu sendiri."

Aku tertegun, masih mencerna kalimat yang Talitha lontarkan. "Jadi, sihir mereka dapat mengendalikan mereka sendiri?"

"Aku rasa, ya. Dan satu-satunya cara adalah dengan mengikat jiwa-jiwa manusia tanpa sihir. Itulah sebabnya mengapa aku seolah tertarik oleh benda itu, aku dapat mendengar jiwa-jiwa mereka di dalam sana."

"Ini tidak benar, maksudku mengikat jiwa-jiwa itu di dalam sana. Kita harus menghancurkan benda itu. Apakah ada cara untuk menghancurkannya?" tanyaku.

Talitha kembali pada buku dan mulai membaca kembali. "Ya, ada mantra penghancur tertulis di sini, tapi ... hanya jika kau ingin mati."

"Apa?"

"Benda itu berumur ribuan tahun, tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi jika kau menghancurkannya."

Tiba-tiba, dari segala arah, keenam Sorcerer itu muncul mengerumuni kami. "Kembalikan bola kristal itu maka, tidak ada yang akan tersakiti," kata lelaki berambut pirang.

"Ya, selain jiwa-jiwa manusia tanpa sihir yang kalian masukkan ke bola kristal itu," ketusku.

"Itu adalah hal yang perlu kami lakukan, kau tidak tahu apa-apa untuk menjadi seseorang yang lahir dengan kekuatan sihir murni."

Aku bergeming, kemudian kulirik Talitha yang seolah tahu apa rencana yang kupikirkan. Kuambil bola kristal itu dari tas dengan sihir pemindah saat Talitha melemparkan buku mantra padaku. "I'r eneidiau caeth liberabo te de geimhlean," kubaca dengan cepat mantra yang tertulis di sana.

Sedetik kemudian, retakan bola mulai terdengar, para Sorcerer melirikku dengan gelisah, hingga ledakan cahaya memenuhi seisi perpustakaan.

END
_______________

Written by YouKnowWhoIAm15

Wahh, apa yang terjadi pada Hanifah dan bola kristal itu selanjutnya, yaa?

Ending yang cukup gantung, gimana menurut kalian?

Mari tinggalkan komen dan tap-tap bintang, jika kamu suka dengan cerpen ini.

Lanjut ke cerita berikutnya ~

FANTASCROLLER : SIDE STORYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang