BF 02

278 64 36
                                    

Fajri masih terlelap dalam tidurnya. Pemuda kelahiran darah Sunda ini semalam begadang mengerjakan tugas sekolah dan dilanjutkan bermain game online di ponsel.

Ketukan pintu dari luar kamar tak membangunkan Fajri yang bersembunyi di balik selimut bergambar kartun Pororo, si Penguin berwarna biru.

"Aji, bangun nak. Ini sudah jam 7 kurang loh," ucap suara lembut.

Sang Mama terus mengetuk pintu kamar Fajri. "Aduh, nih anak susah banget kalau di bangunin," keluhnya menggeleng-gelengkan kepala.

"Aji! Kamu mau bangun atau Mama akan sita semua fasilitas milik kamu!" ancam sang Mama.

Suara kegaduhan di dalam kamar begitu terdengar. Tiba-tiba pintu kamar terbuka kecil, tampak sosok Pemuda bergigi kelinci di sela-sela pintu kamar.

"Aji sudah bangun... hoamm," jawab Aji menguap lebar.

"Ish! Kamu ini jam segini baru bangun. Sana cepat-cepat nanti kamu telah berangkat sekolah ya," balas Mama kesal melihat tingkah laku sang Anak.

"Hehehe... iya, Ma. Aji mau siap dulu, tapi jangan ambil semua fasilitas milik Aji ya," ucap Fajri atau biasa di panggil Aji.

"Cepat! Limabelas menit tidak turun ke bawah. Seminggu ini Mama akan memotong uang jajan kamu."

Tubuh Fajri menegang. Bisa gawat kalau uang jajan selama seminggu di potong. Dia tidak bisa membeli bola basket dan game online keluaran terbaru.

"Siap, Nyonya besar!" seru Fajri menirukan gaya hormat ala tentara.

Pintu kamar Fajri langsung di tutup rapat. Fajri secepat kilat mandi, lalu memakai seragam sekolah.

Sang Mama memutuskan turun ke bawah menuju meja makan. Sarapan pagi telah disiapkan oleh Bibi Anggun.

Sepuluh menit berlalu, Fajri sudah rapi dengan seragam sekolah. Sejenak ia merapikan poni rambutnya. Tas selempang sudah dipakai dan jangan lupakan parfum untuk membuat tubuh Fajri wangi.

Fajri meraih gagang pintu. Menghembuskan napas perlahan, lalu keluar dari kamar.

"Semoga hari ini lebih baik dari sebelumnya," ucap Fajri berharap.

Satu demi satu anak tangga Fajri lalui. Masih ada waktu dua menit lagi sebelum sampai di meja makan.

Uang jajan Fajri saat ini tengah dipertaruhkan. Fajri tak mau sampai hal itu terjadi.

Dan tibalah Fajri alias Aji di meja makan. Di sana sudah ada sang Mama yang menatap penampilan Fajri dari atas ke bawah.

"Duduk."

Fajri menarik bangku pelan, lalu duduk. Sang Mama tersenyum tipis.

"Saatnya kita sarapan," ucap sang Mama.

Fajri menghela napas lega. Uang jajan untuk seminggu ke depan aman.

"Selamat," gumam Fajri.

......

Fajri Ajima Zakno. Biasa di panggil Aji di lingkungan rumah dan Fajri di lingkungan sekolah.

Pemuda berusia 16 tahun ini tengah duduk di bangku SMA kelas XI IPA 2. Fajri memiliki paras tampan, bergigi kelinci dan sifat yang ramah kepada siapapun. Bagi para siswi yang di perlakukan seperti itu, jangan pernah mengharapkan perasaan lebih kepada Fajri.

Fajri tiba di parkiran kampus. Ia mengendarai sepeda motor keluar terbaru. Tempat parkir khusus dirinya sudah tersedia. Ini ulah para penggemar Fajri di sekolah. Mereka bahkan memiliki nama fanbase yaitu Jination.

"Hmm... langsung ke kelas atau lapangan basket dulu ya," gumam Fajri bingung.

Fajri mengeluarkan sebuah koin keberuntungan miliknya. Koin itu sudah tersimpan lama olehnya sejak kecil. Koin pemberian dari sang Ayah tercinta. Jika mengingat hal itu, hati Fajri menjada sedih dan marah secara bersamaan.

"Yuk, kita tentukan dengan koin."

Koin bergambar orang dan angka menjadi pilihan. Orang untuk ke kelas dan angka untuk lapangan basket. Ia lempar ke atas dengan kecepatan sedang.

Beberapa detik kemudian, koin mulai jatuh perlahan. Salah satu tangan Fajri sudah siap menangkapnya.

Hap!

Fajri membuka tangan dan gambar orang terpampang. Helaan napas kasar membuat Fajri kesal.

"Oke deh. Kali ini gue langsung ke kelas, besok baru ke lapangan basket," ucap Fajri final.

Pemuda berparas tampan berjalan santai menuju kelas XI IPA2. Baru beberapa langkah saja sudah ada yang menyapa serta menyambut kehadiran Fajri.

"Pagi Aa Fajri," sapa Hernita bergaya centil.

"Wah, si Fajri kasep pisan euy," ucap siswi berkacamat bulat. Logat Sunda ya begitu kental.

"Hai... bisa kali nanti ke kantin bareng," ujar siswi berbedak tebal.

Fajri menanggapi dengan tersenyum. Itu cara lebih baik agar terhindar dari para fans gila ya.

Langkah Fajri semakin cepat menuju kelas. Banyak singa betina semakin berulah, apalagi di ketuai oleh Hernita.

"Pagi guys," sapa Fajri kepada teman sekelasnya.

"Pagi, Ji," balas seorang Pemuda bertubuh bongsor. Dia memiliki bentuk pipi seperti makanan khas kota Palembang yaitu Pempek.

"Ji," panggil Pemuda itu setelah Fajri duduk di bangku sebelahnya.

"Apa? Gue punya perasaan nggak enak nih," ucap Fajri was-was.

Pemuda bernama Fiki Alvino itu hanya menyengir lebar. "Gue boleh lihat tugas lo, nggak?" pinta Fiki bernada sok di lembutkan.

Fajri segera menjauh. Dia tak mau berdekatan dengan sahabat yang kerjaan ya cuma menyontek tanpa usaha.

"Ji, gue mohon ya. Nanti istirahat gue traktir apapun deh," ucap Fiki merayu Fajri dengan imingan traktir.

Fajri berpikir sejenak. "Oke!"

Fiki tersenyum lebar. Dia sudah menyiapkan tugas untuk pagi ini di atas meja.

Fajri sendiri sedang mengambil buku tulisnya dari dalam tas. Sebelum menyerahkan buku tulis itu, Fajri mencoba menyakinkan ucapan Fiki tadi agar tidak menipu dirinya.

"Lo benar kan mau traktir gue?"

"Iya, Aji siswa paling populer di sekolah ini. Fiki janji!" sahut Fiki menujukkan jari tengah dan telunjuk.

"Oke. Awas lo sampai bohong. Gue bakalan keluarin lo dari klub basket dan gue nggak bakal mau jadi sahabat lo lagi. Ingat itu!" Fajri mengancam.

Fiki menelan ludah kasar. Sebenarnya dia ingin berbohong, tetapi jika sampai ancaman Fajri terjadi Fiki tak bisa menjadi salah satu siswa populer lagi. Reputasi dia bakal hancur dalam sekejap.

"I-iya, Ji," jawab Fiki gugup.

"Hahaha... itu baru sahabat gue!" seru Fajri.

Fiki pun mulai sibuk menyalin tugas milik Fajri. Sedangkan Fajri diam memandangi langit cerah di pagi hari.

"Aji kangen sama Papa."

.
.
.
.
.

[24/11/2021]

Broken Family (can't be together)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang