The Invasion

64 8 0
                                    

Biru langit bercampur dengan warna ungu muda akibat emisi gas yang dikeluarkan oleh pesawat-pesawat berasal dari luar angkasa, mencoba menidurkan seisi kota yang kini aku tinggali untuk selamanya. Semua terjadi terlalu tiba-tiba, dan yang aku lakukan adalah berlari secepat mungkin ke area yang tidak terkonsentrasi akan zat pembuat kantuk itu. Namun, tetap saja. Aku terangguk-angguk beberapa kali, menampar pipi mengupayakan diri agar masih terus terjaga dan awas aku berada di mana.

Komando militer yang diturunkan ke kawasan kota juga terpencar ke sembarang arah. Wilayah yang besar, tetapi tidak maju peradabannya. Aku mendengar seorang tentara yang mengatakan, "Jangan sampai makhluk asing itu berhasil menembus tebing besar di area perbatasan!" sebelum ia berlari ke lini depan menghadang wujud berkepala lonjong dan berekor panjang, bersenjatakan penembak laser yang dapat menembus badan dengan seketika. Mataku pun teralih pada sebuah tanah gigantik jauh di hadapan mata.

Aku berpikir, ada baiknya aku berlari ke sana, jika ternyata ada tempat terselubung yang bisa dimasuki.

Ketika keadaan sudah sedikit aman, aku langsung bangkit berdiri dari batu besar yang membelakangi punggungku. Aku menutup hidung kuat-kuat sembari merasakan sesak yang terlalu cepat datang karena harus berlari kencang. Entah berapa manusia ambruk tak tertolong yang aku tak hiraukan, sampai tinggal aku sendiri yang berlari di atas tanah padat kecokelatan yang terbentang luas.

Memutari tebing itu, benar ada sebuah pintu masuk yang terbilang terlalu besar untuk dimasuki seorang manusia. Aku tak langsung berlari jauh ke dalam, melainkan melirik-lirik mencari benda yang tampak seperti kontrol untuk akses jalan ini. Ketemu, aku menemukan sebuah kotak bermateri sama dengan sekelilingnya di dekat area masuk. Dengan mendorong kotak itu, sebuah tebing tipis keluar, menutup akses masuk jalan yang kumasuki tadi.

Kini, semua gelap gulita. Hal yang bisa kuandalkan hanyalan indera perabaku saja.

Aku lanjut berjalan, menepis keinginan berpikir mengapa tempat ini terbiarkan begitu saja, dan lebih pada sebuah ide konyol kalau semua sudah berakhir, tim penyelamat pasti akan datang kemari dan menemukanku. Walau mungkin butuh waktu berhari-hari, atau barangkali aku akan mati secara damai di dalam tebing ini ketimbang harus dihajar atau dibolongi oleh senjata alien.

Jalan yang kutempuh terhitung lama walau kini aku buta akan waktu, tak repot-repot menghitung per berapa detik yang sudah berlalu. Langkahku terhenti ketika aku menabrak sebuah tanah seukuran setengah badan dan meraba benda bundar di atasnya.

Benda itu tiba-tiba melambung tinggi, mengeluarkan berkas cahaya kebiruan yang memberi sedikit penerangan di dalam tebing. Sinar itu seolah bagaikan sebuah mata ketika ia berhenti padaku, dan hal selanjutnya yang terjadi adalah aku melihat tulisan-tulisan asing yang tak mampu aku pahami, tetapi otakku seakan dipaksa untuk membaca semua itu secara runtut.

Kemudian, dalam waktu singkat, lingkungan kembali gelap. Usai kejadian itu, kesadaranku luput seakan ada yang memaksaku untuk tidak terbangun lagi.

****

Kala mata terbuka, yang kulihat adalah sebuah ruangan yang sangat luas, dengan dinding besi yang di bagian selanya terdapat bias sinar, sebelum aku sadar kalau aku terkurung di dalam tabung transparan yang terlalu luas juga. Baru sebentar mencoba memahami situasi, sesosok makhluk besar masuk, berpakaian seperti jas lab—wujud yang sama seperti yang terakhir aku ingat, dan ia seakan berbincang dengan sesamanya di dekat tabung kurunganku. Makhluk itu berjalan mendekat dan sebagian tabung terbuka, membiarkan tangannya masuk ... mencoba menangkapku!

Sayangnya, ketika hendak mengangkat kaki, seperti ada sesuatu yang menahan tubuhku, melebihi gravitasi bumi—tetapi makhluk itu menangkapku dengan mudah—dan hal yang terakhir kulihat adalah sebuah besi runcing yang terarah pada kepalaku.

GenFest 2021: Sci-FiWhere stories live. Discover now