Beyond the Ocean

95 9 1
                                    

Di antara deru angin pantai dan debur ombak memecah karang, peluit panjang menjerit nyaring. Gemeretak panel-panel dan roda gigi logam saling beradu, bersahut-sahutan dengan gemuruh mesin. Roda-roda baja menggilas rel menimbulkan entakan berirama setiap kali melalui sambungan.

"Wuaaahhh ... Kereta apiii!!!"

Bocah-bocah berlarian menaiki bukit rumput, untuk bisa melihat lebih jelas sosok raksasa besi yang terangkai panjang dengan gerbong-gerbong berisi barang dan penumpang. Yang pertama terlihat adalah kepulan asap tebal yang membumbung, kemudian cerobong berikut lokomotifnya. Ketika mereka tiba di puncak bukit, keseluruhan rangkaian kereta yang memanjang belasan meter di belakang stasiun pun tampak.

Desa kecil itu hanya sesekali saja dikunjungi kereta. Penumpangnya adalah orang yang datang dari atau pergi menuju kota, puluhan kilometer di Utara. Bagi mereka yang sehari-hari hanya melihat sepeda, gerobak, kereta kuda, atau automobile milik kepala desa lalu-lalang, stasiun mungil di ujung pulau itu adalah hiburan tersendiri.

"Kau tidak ikut dengan mereka,Tim?"

"Yang benar saja. Aku bukan anak-anak lagi," jawab yang ditanya setelah melengos pendek, menarik poni cokelatnya ke dalam topi, lalu meneruskan pekerjaannya. Roda-roda gigi berputar, piston di sarung tangan mekanik yang dia kenakan, mendesis dan berdecit saat membantu menarik karung-karung goni berisi biji jagung kering dari gudang toko ke gerobak.

Setelah gerobaknya terisi penuh, pemuda yang terlihat masih di usia pertengahan belasan tahun, melompat naik ke kursi sais. Namun alih-alih kuda, di hadapannya terdapat lokomotif mini beroda tiga. Dari saku jaket lusuh yang dia kenakan di atas celana bersuspender, dia mengeluarkan tuas pengengkol dari logam bengkok sepanjang dua jengkal tangan.

Pegangan kayu oval di ujung pengengkol dia genggam erat setelah ujungnya terpasang rapi di lubang starter.

Tiga putaran pertama untuk menyalakan pengapian mesin.

Lima putaran berikutnya memanaskan hingga asap putih menyembur dari cerobong dan putaran roda-roda gigi stabil.

Tiga putaran terakhir, dia mendorong tuas rem lalu menginjak pedal untuk membuat satu roda paling depan dan paling tebal berputar perlahan menarik gerobaknya maju meninggalkan jejak kepulan asap putih.

Pemilik toko menggeleng kagum pada benda ciptaan Tim itu. Sayang keterbatasan bahan dan dana tidak mengizinkannya untuk meminta dibuatkan satu unit lagi. Sekarang saja, mereka harus mati-matian mengakali bahan bakar dan pelumas yang digunakan, sekadar untuk membuat roda-roda gigi mesin tetap berputar.

"Berbeda dengan automobile milik kepala desa, lokomotif mini buatan Tim tidak mendapat subsidi negara, karena tidak didaftarkan sebagai temuan secara resmi," begitu yang dia jelaskan pada orang-orang yang bertanya.

"Lalu dari mana Tim bisa mendapat bahan-bahan untuk membuat lokomotif mininya?"

"Ah, soal itu ... Kudengar dari daur ulang komponen bekas dan kiriman dari ayah bocah itu."

Orang-orang saling berpandangan. Sepanjang pengetahuan mereka, Tim hanya tinggal berdua dengan Lien di rumah mungil yang merangkap klinik. Memang sering ada orang yang datang dari kota, tetapi mereka hanya mengantarkan paket atau surat saja. Begitu terus sejak satu dekade yang lalu.

"Dokter Lien itu masih lajang, kan?" bisik salah satu pengunjung. Ditanggapi dengan mengangkat bahu oleh yang lain.

Untuk mengendalikan arah, Tim memindahkan tuas engkol ke sebuah pipa yang terhubung dengan banyak roda gigi. Ukiran berbentuk perisai berisi jajaran pohon, gunung, dan pedang di ujung pipa sempat terlihat, sebelum tuas engkol terpasang menutupinya.

GenFest 2021: Sci-FiWhere stories live. Discover now