Orang-orang bilang aku harus belajar menerima kenyataan. Mereka berkata waktu akan menyembuhkan segalanya. Mereka menyuruhku melanjutkan hidup. Tapi apa mereka tahu rasanya kehilangan seseorang yang sudah menjadi separuh dari dirimu? Apa mereka tahu rasanya duduk di tempat yang penuh kenangan, dan menyadari bahwa satu-satunya yang tersisa hanyalah gema di kepalamu?

Musim semi selalu datang kembali, tapi musim semi bersamamu tidak akan pernah kembali.

Aku memejamkan mata, menarik napas panjang. Aroma sakura memenuhi paru-paruku, dan dalam sekejap, aku merasa kau ada di sampingku lagi. Suara tawamu samar, tapi cukup untuk membuat dadaku sesak. Aku tahu itu hanya bayangan. Tapi biarlah-lebih baik tenggelam dalam ilusi daripada menghadapi kenyataan yang hampa.

"Pegang tanganku dan terbanglah," suaramu menggema lagi dalam ingatan.

Air mataku jatuh tanpa bisa kutahan. Aku mengusapnya cepat-cepat, takut seseorang melihat dan mengira aku gila. Tapi mungkin aku memang gila. Gila karena masih menunggu seseorang yang tidak akan pernah kembali.

Aku menatap langit yang terbuka, langit yang dulu kau janjikan akan kita lalui bersama. Aku ingin percaya kau benar-benar ada di sana, menunggu dengan senyumanmu yang hangat.

Musim semi ini, aku kehilanganmu sekali lagi.

---

Malam itu, aku masih bisa merasakannya seolah terjadi kemarin. Bau obat-obatan yang menusuk hidung, suara mesin monitor jantung yang berdetak teratur, dan cahaya lampu rumah sakit yang dingin, terlalu putih, terlalu terang. Semuanya menyatu menjadi latar dari mimpi buruk yang tak pernah ingin kuingat, tapi tak bisa kulupakan.

Kau terbaring di ranjang besi itu, tubuhmu semakin kurus dari hari ke hari. Selang-selang menempel di lenganmu, seakan tubuhmu bukan lagi milikmu, melainkan milik mesin-mesin yang berjuang menahanmu di dunia ini. Aku duduk di kursi di sampingmu, menggenggam tanganmu yang dingin, mencoba memberimu kehangatan yang entah masih kau rasakan atau tidak.

"Aku takut," bisikku. Aku jarang mengakuinya padamu. Aku selalu mencoba kuat, tersenyum agar kau tidak khawatir. Tapi malam itu, aku tidak bisa lagi berpura-pura.

Matamu perlahan membuka, lemah tapi masih penuh cahaya. Kau menoleh padaku, tersenyum tipis. "Jangan takut."

Aku terisak. Air mata jatuh begitu saja, membasahi tanganku yang menggenggam tanganmu. "Bagaimana aku bisa tidak takut? Aku takut jika aku bangun besok pagi, kau tidak ada lagi di sini."

Kau berusaha mengangkat tanganmu, meski gemetar dan penuh tenaga yang terkuras. Dengan susah payah, jemarimu menyentuh pipiku. Sentuhan itu rapuh, hampir tidak terasa, tapi bagi hatiku, itu seperti pelukan hangat.

"Bintang kecil yang bersinar..." kau berbisik, suaramu serak dan lirih. Aku mendekat, menunduk agar bisa mendengarmu dengan jelas.

"Aku tahu siapa dirimu," lanjutmu, "kau tidak pernah terlalu jauh... kita tidak akan pernah terpisah."

Kalimat itu membuat dadaku bergetar. "Jangan bicara seperti itu," kataku cepat. "Kau akan sembuh. Dokter bilang kau kuat. Kau akan melewati ini."

Kau menatapku lama, dengan mata yang bersinar meski tubuhmu hampir menyerah. "Aku ingin kau percaya... bahwa sekalipun tubuhku pergi, aku akan tetap ada bersamamu. Aku akan jadi bintang kecil yang bersinar di langit malam. Dan setiap kali kau melihat ke atas, kau akan tahu aku ada di sana."

Aku tidak tahan lagi. Aku meletakkan kepalaku di dada lemahmu, mendengar detak jantungmu yang pelan tapi masih ada. "Jangan ucapkan selamat tinggal," bisikku, suaraku patah. "Tolong, jangan pernah."

Kau mengusap rambutku dengan sisa tenaga yang kau punya. "Aku tidak akan pernah mengucapkannya."

---

Aku tidak ingat bagaimana malam itu berakhir. Yang kuingat hanyalah suara mesin monitor yang tiba-tiba memekik, dokter dan perawat yang berlari masuk, tubuh mereka yang menghalangi pandanganku. Aku ingat aku berteriak, memanggil namamu berkali-kali, sampai suaraku habis. Aku ingat tanganku masih mencoba menggenggam tanganmu, tapi genggaman itu terlepas perlahan.

C • E • R • P • E • NWhere stories live. Discover now