Dictum

7 2 4
                                    

Tak ada bangunan yang berdiri kokoh tanpa sebuah rancangan. Perpaduan antara nilai dan bahan saling menyokong atap agar berdiri dengan megahnya.
- Louisa

.
.
.

Enam orang duduk melingkari sebatang lilin merah di lantai, saling menggenggam tangan, memandangi gerak api yang berlenggak-lenggok tertiup napas. Atmosfer terasa memeluk erat dengan hawa lembab dingin. Setiap kepala enggan melirik satu sama lain, fokus dengan pikiran masing-masing. Dinding-dinding sehitam malam, mengurung manusia-manusia dalam wujud kecil dari dunia luar. Lantai dari batu besar-besar membawa nyenyat dan sejuk permukaan benda kasar.

Louisa dalam tubuh mungil mengedip pelan, kepala-kepala lain melihat ke arahnya dengan pandangan penuh tanya dan tuntutan. Dimulai dari Joseph yang ada di kiri, kemudian melirik sampai ujung kanan di mana Mia mendongak.

"Jangan ingkar." Mereka berkata bersama diikuti lelehan hitam yang mengubur iris-iris yang bercahaya menyakitkan. Lapisan daging berjatuhan menunjukkan tulang-tulang hitam yang ikut hancur bersamaan. "Penuhi janjimu, Bibi Louisa!"

Mentari tampak malu-malu di timur, burung-burung berkicau tanpa beban di cabang-cabang pohon, bunga liar membuka kuncup merah muda terkena embun. Seperti pagi biasa yang sederhana, mengawali kehidupan yang terus berjalan.

Tidak untuk dua manusia yang berusaha bersantai di mobil rusak. Detektif Jason menyulut rokok berusaha menghangatkan tubuh, bocah berselimut jaket miliknya membuka mata dengan ekspresi kacau, ia menerka bahwa tidur barusan cukup buruk. Mereka menghabiskan malam di tempat yang sama ketika Nyonya Ma atau Margaret datang. Butuh waktu untuk memulihkan mental yang baru saja digempur palu-palu besi. Pulang ke tempat tinggalnya akan mencolok jika boneka-boneka yang menyembulkan kepala dari jok belakang, menakuti tetangga, pasalnya ia tak bisa mengontrol mereka, mungkin ada satu yang bisa diajak berdiskusi. Terlebih Louisa tampak terpukul, meski Detektif Jason tak tahu sebabnya. Ia hanya bisa menunggu semalaman sampai anak itu bangun dan mengatakan sesuatu---kalau ia mau---sambil mengelap senjata warisan keluarga.

Louisa menengok ke Detektif Jason tanpa bicara, Sno yang dari tadi memperhatikan segera beringsut naik ke pangkuan dan menyentuh dahi gadis itu. Memeriksa suhu badan seperti seorang dokter profesional, padahal ia boneka beruang gendut yang menggemaskan.

"Ada yang mau kau katakan?" Pria itu mengambil inisiatif setelah sadar ketidaknyamanan bakal menghampiri kalau mereka enggan bicara dalam waktu lama. "Permen loli?" Sodornya sekotak gula-gula merah bertangkai yang langsung disambut tangan terlilit kain kasa dan plester.

"Tuan, kau akan melakukan apa jika harus memilih antara membunuh keluargamu atau melarikan diri?" Louisa menggigit permen hingga hancur, mengunyah tanpa ragu tentang gigi-gigi yang bisa saja berlubang. Ia mengambil tongkat manis lainnya untuk menggantikan cadangan glukosa yang terkuras.

Bibir Detektif Jason mengerucut ke luar jendela, mengembuskan asap nikotin. "Tak ada jawaban jika aku bahkan tak mengerti permasalahannya," katanya menaikkan sebelah alis hitam tebal. Jenggot panjang seleher itu seperti sarang tupai yang terlihat nyaman dan tahan air, sekaligus cantik dengan warna gelap yang mengilap terkena sorot matahari.

Mengeratkan pelukan pada Sno yang juga memeluk seperti koala. Louisa terdiam, lalu mulai bercerita tentang dirinya dan juga orang-orang yang bersangkutan erat. Dari sejak kisah Louisa yang bahagia dengan orang tua lengkap dan seorang saudari, lalu kisah-kisah lima bocah malang yang meregang nyawa bersama dengannya, hingga cerita berhenti tepat ketika kepala itu terkulai ke sandaran kursi sambil menikmati usapan lembut dari makhluk berbulu.

Louisa (SUDAH TERBIT)जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें