7. Jangan Pernah Mencoba - 2

Start from the beginning
                                    

“Bukan hanya itu, siswa di SMA juga akan diperiksa apakah ada yang positif menggunakan narkoba atau tidak.” Kepala sekolah berkata tegas.

Kami yang dari tadi sudah memasang sepatu dengan rapi dan sudah mententeng tas di belakang, bersiap-siap untuk segera pulang cepat, mendadak kecewa. Barisan pun bubar jalan.

***

Aku menguap bosan karena tidak ada kerjaan di sekolah hari ini. Kami berlima duduk berbaris di kursi bawah pohon ketapang yang ada di tengah lapangan. Gustin sibuk dengan snack di tangannya, teman gendut kami yang satu ini memang hobi sekali makan.

Semua guru Wanita sibuk memeriksa siswi-siswi. Sedangkan guru laki-laki sibuk memeriksa apakah para siswa positif memakai narkoba atau tidak.

“5 Anak gelandangan duduk rapi di bawah pohon.” Lagi-lagi geng mak lampir lewat di depan kami. Tertawa mengolok. Mengatakan sesuatu hal yang menyebalkan. Kami telah terbiasa dengan kata-kata usil mereka, lantas mengabaikannya.

“Heh Jablay baru lewat barusan, Uhhh baunya nyebar kemana-mana.” Kecuali Delta, teman kami yang satu ini memang tidak mau kalah melawan geng Mak Lampir.

***

“Kalau aku memang sudah diperbolehkan merokok oleh orang tua, namanya pula anak laki-laki dewasa.”  Seseorang siswa SMA kami berkata bangga kepada temannya.

Teman lawan bicaranya juga tak mau kalah, “Aku juga begitu, mamak dan bapak sudah membebaskan, memang anak seusia kita sudah sewajarnyalah merokok.” ia mendesit nikmat menyedot asap dari sepuntung rokok di jarinya, lantas mendesit melepaskan asap dari mulut. Sekali-kali ia menelan asap rokok, mengalirkan ke dalam rongga dada, aku berani taruhan kalau isi perut mereka perlahan-lahan mulai menghitam.

Aku yang dari tadi diam, duduk di angkot berhadapan dengan mereka menggeleng prihatin. Dibebaskan merokok kok bangga? Hei, bukankah itu berarti orang tuanya tidak sayang, tidak perduli dengan kesehatan anaknya sendiri? Kalau orangtua sayang dengan kesehatan anaknya, mereka pastilah melarang si anak untuk merokok, bukan malah membebaskan kehendak si anak seperti itu.

Putra dan yang lainnya sudah pulang sekolah duluan. Hasil tes di Sekolah barusan sangat mengejutkan. Ada puluhan siswi yang sama seperti Sintia (hamil di luar nikah) dan ada ratusan siswa yang positif menggunakan narkoba. Aku dan teman-temanku terbebas dari itu semua, bahkan Geng Mak Lampir juga terbebas dari perbuatan tercelah itu. “Syukurlah.” aku menghela napas. Bagaimanapun juga mereka dahulu adalah teman-temanku pula. Oi apa yang aku katakan? aku cepat-cepat menepis pikiran bahwa kami pernah berteman dengan geng Mak Lampir.

Sesampai di rumah ada mamak yang sibuk merapikan baju. Mamak hari ini lagi libur. Bapak ke kebun.

“Masak apa mak?” Aku yang sesampai di rumah langsung bertanya inti dari masalahku.

“Langsung lihat saja di belakang, baru juga pulang sudah langsung tanya masakan.” Mamak menjawab seadanya.

Aku berlari kecil menuju dapur, mendengus melihat lauknya yang hanya Terong bening. Tapi karena rasa lapar yang tak tertahankan, lauk apapun sikat saja. Kata mamak syukuri semuanya, banyak orang diluar sana, bahkan susah untuk makan nasi.

“RIOO!!! GANTI BAJU DULU.” Mamak teriak dari depan.

“IYA MAKK!!” Aku buru-buru makan, hanya butuh beberapa menit lantas ganti baju. Soal makan cepat, aku bisa memenangkan perlombaan.

“Mak, tadi aku dengar teman-teman di sekolah sudah diperbolehkan merokok. Kalau aku yang merokok bagaiman mak? Boleh tidak?” Tanyaku usil kepada mamak, dan sudah pasti jawaban mamak adalah “TIDAK BOLEH.”

“Boleh!! Boleh-boleh-boleh.” Mamak menghentikan pekerjaannya sesaat. berkata seperti upin-ipin, melihat ke arahku.

“Hah !! yang betul?” Aku terkejut. Tumben mamak memperbolehkan.

Segenggam Surga Di Tangan Sahabat (SELESAI)Where stories live. Discover now