7. Jangan Pernah Mencoba - 2

16 0 0
                                    

“Siapa yang tidak hadir hari ini...?” Ibu guru mengabsen di kelas. Dan sama halnya kemarin, Sintia kembali tidak hadir.

“Ini surat dari keluarganya, bu.” Teman sebangkunya memberikan surat dari keluarga Sintia.

Memangnya Sintia sakit apa? Kenapa minggu terakhir tidak pernah terlihat batang hidungnya di kelas? Sepertinya Sintia benar-benar sakit keras.

“Inalillahi... inilah yang ibu takutkan.” Ibu guru terperanjat setelah membaca isi surat. Menggeleng.

Kami semua yang melihat penasaran isi dari surat tersebut. Suasana di kelas hening, hanya terdengar ocehan guru yang mengajar di kelas sebelah.

“Ada apa bu? Apa isi dari surat itu?” Aku memberanikan diri bertanya, tidak sanggup menahan rasa penasaran. Ibu guru tidak menjawab, hanya berkata “Kalian diam disini sebentar, jangan ribut. Ibu ke kantor dulu.” Lantas meninggalkan kami yang penuh dengan tanda tanya, apa isi dari surat tersebut?

Perintah bu guru yang menyuruh diam tak lantas kami turuti. Seluruh murid di kelas, asik berceloteh, senang hati kalau hari ini tidak belajar. Ada yang bertanya apa yang terjadi pada Sintia, dan ada pula yang membicarakan cerita yang lainnya.

“Memangnya apa yang terjadi?” Alex beranjak dari tempat duduknya, bertanya kepada teman sebangku Sintia.

“Sebenarnya Sintia tidak sakit.” Jawab teman sebangku sintia yang was-was seakan menyimpan sesuatu.

“Tidak sakit? Bagaimana bisa? Lantas apa penyebab ia tidak sekolah?” Alex mendesak bertanya.

“Sebenarnya…” Teman sebangku Sintia itu menggigit bibir bawahnya seperti susah sekali untuk membuka mulut, “Sebenarnya..... Sintia hamil.”

“Apa? Hamil!” Alex kaget, tanpa disadari ia berteriak terlalu kencang, membuat setiap sorot mata menoleh ke arahnya. Mendengar itu, setiap mulut mulai saling membahas, “Jadi itu masalahnya?”, “Selama ini jadi sintia hamil," suasana di kelas ribut seketika.

Aku juga sedikit kaget mendengarnya. Ooh, ternyata Sintia hamil. Dan teriakan Alex itu membuat rasa penasaranku terjawab sudah. Aku jadi teringat apa yang dikatakan kakek “Hidup memang harus banyak mencoba, tapi tidak untuk semua yang bersifat negatif. Seperti sex bebas. Karena hal-hal yang negatif seperti itu hanya mendatangkan nikmat sesaat, lantas selebihnya adalah sengsara.”

Kring .. kringg .. kringg .. kringgg.! 4 Kali suara bel memecah keributan di kelas. 4 Kali suara bel, itu pertanda guru menyuruh siswanya untuk baris di tengah lapangan.

Namanya juga anak sekolah. Mendengar suara bel untuk disuruh baris malah membuat mereka senang hati berterbangan. Termasuk aku yang senang karena tidak belajar. Padahal setelah dipikir-pikir saat di sekolah tidak belajar, yang rugi adalah siswanya, bukan gurunya. Guru tetap akan digaji walaupun tidak mengajar, sedangkan siswa hanya menghabiskan uang orang tuanya saja, tapi ilmunya tidak didapat. Tapi waktu itu mana pernah terpikirkan demikian.

Bisa jadi para guru menyuruh kami baris karena hendak pulang lebih cepat. Mungkin ada rapat guru, atau mungkin ada sesuatu hal yang memang tidak bisa diganggu gugat, yang akhirnya menyuruh kami pulang lebih cepat, pikirku.

Ternyata dugaanku salah besar.

Seluruh murid telah berbaris rapi di lapangan, menyandang mantap tas di belakang. Kepala sekolah berdiri dengan tampang galak di depan.

Kepala Sekolah berdiri di depan membahas tentang masalah Sintia. Wajah kepala sekolah tampak sangat kecewa. Karena kasus Sintia inilah pula kepala sekolah malah mengumpulkan seluruh murid dan ingin memeriksa semua wanita yang ada di SMA ini, ingin memastikan apakah ada siswi lainnya yang sama seperti Sintia.

Segenggam Surga Di Tangan Sahabat (SELESAI)Where stories live. Discover now