Bagian XLIV

813 130 2
                                    

Menekan bel pintu rumah itu, Brant selanjutnya menunggu hingga seseorang dari dalam sana membukakan pintu untuknya.

Sepanjang perjalanannya untuk sampai kemari, pikirannya terus berkelana ke berbagai hal, dan salah satunya pada perkataan Dalton yang entah mengapa terus saja muncul di kepalanya. Perkataan pria itu mengenai bagaimana jika ia berada di posisi yang sama dengan Teressa... perkataannya itu membuatnya berubah pikiran. Benar, dia tidak bisa mengakhiri kariernya begitu saja... ia akan tetap menjalani kariernya, bahkan dengan lebih baik lagi, dan kali ini ia akan menjalaninya bersama Teressa dan Aaron di sisinya.

“Ya, aku sudah berusaha menghubunginya...”

“Tolong bukakan pintunya, sayang!”

Dari dalam rumah, Brant dapat mendengar suara-suara itu. Sepertinya Jax sedang berbicara dengan istrinya?

“Iya, aku hampir melakukannya!”

Ketika pintu itu terbuka, Brant dapat melihat pandangan Jax yang terlihat terkejut menemukan dirinya yang berdiri persis di depan pintu rumah pria itu. Jax bahkan berhenti mengatakan sesuatu untuk membalas panggilan suara dari telepon yang berada di genggamannya itu.

“Lama tidak bertemu,” ujar Brant membuka pembicaraan, sembari mengangkat satu tangannya untuk menyapa manajernya itu.

“Aku... aku akan meneleponmu nanti,” ucap Jax menanggapi suara dari telepon yang digenggamnya itu, sebelum kemudian mematikan panggilannya.

“Ya Tuhan! Brant! Aku meneleponmu sejak tadi, tetapi kau tidak bisa dihubungi.”

Brant mengendikkan bahunya acuh tak acuh, “ponselku mati.” Jawabnya tenang, mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Lagi pula, ia tidak ingin terus menerus memandangi ponselnya dan berharap jika Teressa akan menghubunginya. Ia harus membereskan semuanya sebelum ia melakukan hal-hal seperti itu.

Jax menggelengkan kepalanya, walaupun ia merasa sedikit kesal dengan kelakuan Brant, tetapi ia tetap memberi jalan pada pria itu untuk masuk ke dalam rumahnya.

“Siapa yang datang, sayang?”

“Hai, Fanny?” Sapa Brant kemudian, ketika melihat istri dari manajernya itu.

“Oh, Brant, kau di sini?” Tanya wanita itu, seraya menghampiri Brant. Tidak lupa ia membawa putranya yang berada di gendongannya.

“Yap.” Balasnya singkat.

Brant kemudian mengambil langkah untuk duduk di salah satu sofa yang berada di ruang tamu di rumah Jax itu.

Pandangannya sejenak tertuju pada putra Jax yang terlihat baru saja menangis. Ah... melihatnya mengingatkannya pada putranya, Aaron. Ini bahkan baru beberapa hari ia tidak melihat putranya itu, tetapi rasa rindunya begitu membeludak, hingga ia ingin membalikkan tubuhnya untuk kembali menemui putra kecilnya itu.

“Kau membutuhkan bantuanku? Aku bisa menjaganya sebentar untukmu,” tawar Brant tiba-tiba, sembari beranjak dari duduknya. Ia dengan jelas melemparkan tatapannya pada anak yang berada digendongan wanita itu. Sementara Fanny terlihat kebingungan, begitu pula dengan Jax yang mengamati gelagat rekan kerjanya yang terlihat sedikit berbeda itu.

Sebelumnya Brant mungkin pernah bertemu dengan putra Jax, tetapi tidak dengan interaksi yang seperti ini. Jax ingat, pria itu akan menyapa putranya ketika ia berada di dekatnya, tetapi tidak dengan menyentuh dan melakukan hal lebih.

“Ah-“ Fany terlihat ragu, tetapi melihat wajah Brant yang terlihat sedikit murung? Entahlah, membuatnya menyerahkan putranya padanya.

“Kau tumbuh dengan begitu cepat ya,” ucap Brant ketika berhasil membawa putra Jax ke dalam gendongannya. Anak itu hanya diam menatapnya, tidak menunjukkan respon negatif yang sejujurnya ditakutkan Brant sebelumnya.

Silent Secret [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang