Perceive

3 2 1
                                    

Berhati-hatilah dengan apa yang kau lihat. Pastikan itu bukan sebuah ilusi yang diciptakan mata dan otakmu sendiri. Terkadang mereka bermain-main dengan pikiran dan hidup.
- Louisa

.
.
.

Walau wajah Detektif Jason begitu meyakinkan sampai tak sadar mencengkeram lengannya hampir kebas. Dipikir berapa kali pun Peter tak menerima apa yang diucapkan lelaki besar itu. Perkataan bahwa Louisa yang bahkan kesulitan dengan kloset, bertingkah macam ninja di taman kemarin sore. Jelas-jelas putrinya ada di rumah bersama Mike. Mustahil gadis yang baru sepuluh tahun berkelahi dengan anak yang lebih dewasa---mungkin bisa kalau saja Louisa ikut olahraga karate atau beladiri, nyatanya berkomunikasi dengan orang lain pun baru ia lakukan belakangan ini---yang ada bocah itu menangis duluan.

Detektif Jason tetap teguh dengan pendirian tak berakalnya, mengeluarkan ponsel dari saku jaket yang tampak berat, kemudian menyerahkan benda itu ke Peter. "Kau harus lihat ini," katanya menunjukkan sebuah layar yang menampilkan taman sekitar wilayah kediaman Mariozette, yang bertahun-tahun tak pernah dikunjungi lagi.

"Bohong ...." Barusan serangan telak mengenai jantung dan akal sehat. Peter mengusap kening yang mendadak pusing. Rambut cokelat terang keemasan panjang hampir sepantat dengan gaun putih berenda, menggendong anak yang perawakan hampir sama. Dua bocah yang mirip Louisa, melompat dari atap-atap rumah dan berhenti di taman terbengkalai. Walau wajah dari masing-masing anak tak tampak karena posisi Detektif Jason yang merekam cukup jauh. "Ini rekaman palsu, jangan main-main, Tuan!" Peter tak dapat menahan lagi, kesabaran yang terkumpul meletup seperti kembang api.

"Ada kemungkinan itu anakmu. Aku sudah memeriksa setiap anak yang berkemungkinan seumuran dengan Louisa di sekitar, tetapi tidak ada yang betul-betul semirip dua anak dalam video selain Louisa." Detektif Jason menarik ponsel dan menyimpan di tempat semula. "Aku khawatir, ada hal yang tidak bisa kita kendalikan."

"Hal apa? Tidak ada orang yang sama bahkan untuk anak kembar! Sihir itu tidak nyata!"

Betul-betul tidak masuk akal! Peter berkali-kali meracau bahwa yang ia lihat kini hanyalah khayalan belaka. Membuktikan sendiri perkataan Detektif Jason. Bocah yang berdiri di pagar tembok rumah, tak ada bedanya dengan Louisa. Rambut, tinggi, sampai warna kulit serupa. Peter sempat berpikir apa Louisa punya saudara atau dirinya lupa punya anak lain? Namun, buah pernikahannya dengan Nina, terlahir Louisa seorang.

Mundur perlahan menyenggol tiang lampu jalan, kemudian berlari meninggalkan Detektif Jason yang ikut bergerak berlainan arah, menuju sekumpulan manusia yang saling melempar batu dan tinju. Peter pontang-panting kembali ke rumah, napasnya panjang dan dalam. Membuka kasar pintu, pupilnya mengecil tak menemukan Louisa di lantai satu, terburu-buru sampai menyerempet lukisan kucing bersetelan kantor, menaiki tangga yang lagi-lagi meminta korban jidat dan langsung mendobrak pintu kamar yang tertutup.

Ikatan di dada terlepas, sedikit melonggarkan tenggorakan dan saluran pernapasan. Louisa ada di dalam, tengah memeluk boneka beruang dan sekantong kue dengan mulut penuh memandang keluar kamar lewat jendela. Matanya berkedip lucu, mengunyah cepat kue-kue berbau jahe begitu menengok ke arah Peter yang membungkuk menyentuh lutut dan berkeringat deras.

"Kemari!" Peter agresif meraih Louisa, tak peduli perlakuan itu menyebabkan isi kantong yang dipegang putrinya jatuh ke ranjang, mengundang semut untuk makan bersama dan masuk ke telinga. Di benak Peter hanya ada Louisa dan ketakutan akan sebuah kehilangan. Pikiran pria itu membatu, sama seperti ketika Nina pergi dari kehidupan Mariozette.

Louisa (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now