22. Memory Loss

Mulai dari awal
                                    

“Masih tak mau mengaku?”

“Gue tak melakukan itu.”

“Penjahat mana mau ngaku.”

“Mati saja...!? daripada menyusahkan orang!”

“Maaf..”

Seketika tangannya mengeluarkan api besar, sontak mataku membulat. “Bebola api maksimal ..!”

“Pesan terakhir?”

Terdengar langkah kaki mendekat, namun cahaya api menyilaukan mataku. Lantas ku tutup mataku, jika memang ini kematian ku. Aku ikhlas, maafkan aku. Selamat tinggal.

Tunggu! Aku masih bernafas? Bagaimana bisa? Bukankah aku mati di tangan adikku sendiri? Perlahan membuka mataku, ku lihat seseorang berdiri didepanku. Ruangan ini gelap membuatkan ku tak dapat melihat wajahnya. Apa orang di depanku menyelamatkan nyawaku? Tapi kenapa?

“Blaze, jangan lakukan itu.”

“Apa kamu ingin membunuh kakakmu sendiri?”

“Dia harus mati, kau tau? Dia yang telah membuat semua kekacauan ini!”

“Thorn, yakin kecelakaan kak Rea bukan ulahnya.”

“Tch! Masih aja belain pembunuh!”

Apa aku ngga salah dengar? Orang di depanku adalah Thorn? Apa dia merencanakan sesuatu, tapi apa? Ku coba bangkit, namun sial! Tubuhku sakit tolakkan yang ia lakukan terlalu kuat.

Uluran tangan berada di depanku, kepala ku dongakkan terpantul jelas warna mata hijau emerald miliknya.

Tunggu, dia benar-benar membantuku? Dengan pikiran kacau, akhirnya aku menerima uluran tangan darinya dan ia pun membantuku berdiri.

“Blaze, ingat kalau kamu sampai membunuh kakakmu.”

“Sama aja kamu ngga ada beda nya dengan pembunuh.”

“Kawal kuasamu, Blaze.”

“Ya sudah, Thorn pulang dulu. Ayo kak Ice, jangan hiraukan Blaze.”

“Tch! Sial.”

Ternyata salah, aku pikir Thorn merencanakan sesuatu. Jadi dia mengikuti kami hanya ingin menolongku? Apa Thorn masih percaya padaku? Sepertinya...

<•ICE POV End•> (author 1: sorry bagian berantem kurang feel maybe? author g pandai buatnya:v)

Dari kejadian sampai sekarang, Edrea masih belum sadarkan diri. Keira beserta yang lain menatapnya cemas. Tak ada sedikitpun obrolan di keluarkan hanya suara orang-orang di luar.

Solar dan Alia berjalan menghampiri ranjang Edrea. Mereka menatap sahabatnya sendu.

Alia yang mengawali genggaman erat pada tangan Edrea itupun diikuti oleh Solar secara hati-hati.

Mereka hanya berharap Edrea dapat bangun dengan segera. Tak ada narsis apalagi senyuman yang Alia dan Solar tunjukkan.

3 jam berlalu, mereka secara tiba-tiba merasakan sedikit pergerakan pada daerah genggaman. Sontak hal itu langsung membuat Alia dan Solar terkejut hingga memanggil orang tua Edrea dengan segera.

“Paman! Tante!” Merasa terpanggil mereka bergegas menghampiri.

“Ada apa?”

“Edrea, sudah sadar. Tadi tangannya bergerak.”

“Lu juga lihat kan, Lia?”

“Iya, tapi matanya masih tertutup.”

“Syukurlah.”

You Always Mine. (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang