Target

4 2 1
                                    

Seperti elang yang mengudara, mengawasi mangsa dari singgasana, sampai sang raja turun menebas.
- Louisa

.
.
.

Dari gedung seberang, sepasang netra mengamati dalam diam. Menyalakan sebatang cerutu yang diambil dari bungkusan kain hitam. Bau apak tembakau memenuhi ruangan berjendela besar di setiap sisinya. Mencekik paru-paru, sekaligus mengantarkan perasaan santai ke seluruh saraf-saraf. Nikotin menghitamkan bibir pria berjanggut yang tersenyum sinis, gigi putih kekuningan tampak begitu senyumannya berganti tawa tanpa suara.

"Kau lihat." Ia memiringkan kepala, menunjuk menggunakan arah pandangan kepada seseorang yang asik bermain ponsel. Masih menyesap cerutu dan memainkan ke udara.

Remaja perempuan berpakaian kasual lengkap dengan jaket. Memutar bola mata bosan, bagaimana tidak? Sejak sepuluh menit pria di depan terus berkicau berisik tentang bocah di gedung mal sana. "Lalu?" tanyanya basa-basi tetap memandang benda pipih bercahaya yang memutar video pemuda-pemuda tampan tengah menari.

"Apa lagi? Urus anak itu." Melempar cerutu setengah terbakar ke tong sampah, kertas-kertas di dalamnya ikut tersulut puntung rokok yang masih menyala. Gelenyar menggebu-gebu terasa di dadanya, nyaris meninju sosok yang asyik sendiri, acuh tak acuh mencermati perkataannya di sofa.

"Ah! Kenapa aku? Kau suruh saja yang lain, aku sibuk!" sungutnya tidak terima diganggu saat sedang menonton idola berwajah cantik sekaligus tampan. Bagi remaja tujuh belas tahun itu tak ada yang lebih penting selain bersorak ketika kaum Adam bersuara merdu, bernyanyi dan menari.

"Oke, tidak apa. Jangan harap kau lepas dari Nyonya Ma." Pria itu bersedekap, bersandar pada kaca jendela tebal setelah merasa cukup mengawasi bangunan enam lantai yang tengah dilalap api. "Rea?" Tekanan pada suaranya menjadi tanda bahwa pria besar bertopi itu tak main-main dengan ucapan barusan.

"Baik-baik! Dasar pengadu!" Rea menendang udara kosong seraya bergerak-gerak macam cacing kepanasan, raut wajah tidak enak tercipta mengikuti suasana hati yang memburuk seketika. Mau tak mau ia harus menuruti perintah tua bangka mengesalkan itu. "Kali ini siapa?" Merapikan kaus kebesaran serta menaikkan salah satu kaki bersepatu yang belum terikat kencang.

"Kau sudah melihatnya." Badan lelakinya terbalut pakaian serba kulit, berbalik menghadap mal yang mengepulkan awan-awan kelabu. Jari bersarung terarah tepat ke parkiran, di mana tiga manusia mencurigakan berjalan tertatih-tatih sembari memperhatikan sekitar. "Louisa Mariozette. Bunuh anak itu."

.
.
.

"Aku tidak mengizinkan kalian pergi untuk berbohong."

Suhu tiba-tiba meninggi diikuti tatapan Peter yang menusuk. Louisa curi-curi pandang, sementara Mike meremas-remas kepala Sno yang tak bergerak. Keduanya tidak menyangka akan mendapati kemarahan Peter lantaran gadis kecil yang pergi dengan pakaian musim dingin, pulang dengan baju bergambar bebek kuning, Mike tak luput dicerca pertanyaan berkat kakinya diperban dan pincang. Kira-kira setengah jam lebih ketiganya berkumpul di ruang atas. Peter yang berdiri berkacak pinggang, lalu dua tersangka lainnya duduk di sofa menunduk dalam-dalam.

Kesabaran kian mengikis, kenapa orang-orang di depannya begitu keras kepala dan bertahan menutup mulut. Tidak tahukah kekhawatiran yang menggunung di hati Peter. Bayang-bayang Louisa yang mendapat masalah terus menghantuinya sepanjang hari. Mereka pergi pagi-pagi dan mulai menjelang sore dengan penampilan yang---Peter tak mengerti lagi. Pria itu mengusap wajah kasar, menyeka keringat dingin.

Louisa (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now