Red Rose (Part 3)

3 2 6
                                    

Cara terbaik melarikan diri dari masalah sementara waktu adalah dengan tidur.
- Louisa

.
.
.

Sebanyak apa pun mencoba, kulit tebal Rose sungkar ditembus. Ketika ujung pisau menggores tak butuh waktu lama untuk lapisan daun dan bunga itu beregenerasi. Betul-betul kesia-siaan dan buang-buang tenaga. Louisa terpental ke sebuah toko oleh salah satu akar, Sno yang tengah mengurus orang-orang yang pingsan segera berlari. Tubuh boneka beruang itu membesar seukuran anak-anak, menjadikan dirinya sendiri sebagai bantalan sebelum Louisa melukai badan yang sudah letih dengan botol-botol berisi cairan wangi yang tak karuan aromanya.

Deux mulai melambat lagi, begitu pula Sno yang mengecil dan seketika terdiam di bawah Louisa yang terkapar dengan irama jantung tak terkendali. Gula-gula yang ia makan hanya mampu memberi stamina beberapa menit sebelum terbakar menjadi keringat. Gegabah! Louisa terlalu ceroboh memancing pertarungan di area terbuka pun banyak orang. Kali ini bukan hanya ia yang terancam kehilangan nyawa, tetapi Mike dan manusia-manusia tak berdosa di mal akan ikut mati.

Louisa mendesis, sesuatu menyentil keningnya sembari membawa kesadaran yang harusnya dari awal muncul. Rose terbuat dari tanaman yang notabenenya adalah makhluk hidup---tentu dapat menyembuhkan dirinya sendiri. Jika Louisa berniat menghancurkan Rose dengan pisau, butuh lebih dari seratus pisau tajam yang menebas bersamaan, dan itu mustahil ia lakukan. Hanya ada satu cara. Louisa membutuhkan sesuatu yang mampu merusak dalam skala besar.

Memaksa tubuh yang mencapai batas, meski napas Louisa terdengar mengerikan dengan hawa panas yang menyelimuti seperti mantel tak kasatmata. Meraba-raba saku, berharap ada satu dua cokelat yang tertinggal. Entah harus kecewa atau bersyukur, Louisa meremas permen cokelat terakhir yang ada di saku celana.

"Kuharap kau sama seperti sekaleng gula," kata Louisa mengunyah cepat permen, kemudian bergerak menghindar akar-akar duri yang mengincarnya.

Rose lebih kuat. Lengan dari kumpulan tanaman itu meraih kaki Louisa, ia menjerit menyakiti telinga lantas menghempas makhluk yang bahkan tak lebih besar dari wajah sosok monster mawar mengerikan.

Aku tak bisa ....

Pesimis akan hidupnya kali ini. Matanya menutup sendiri, bersiap menerima rasa sakit dari benturan keramik dengan tulang punggung. Namun, nyeri yang didapat tidak begitu besar. Rupa-rupanya Mike berhasil meredam benturan dengan menangkap Louisa, pemuda berlumuran darah di wajah itu bersuara seperti tikus terjepit saat bagian belakang tubuhnya menghantam lantai dingin, sementara bagian depan menahan Louisa.

"Kau gila! Sudah kukatakan untuk pergi!" Mike yang sukses membebaskan diri dari ikatan kain kasa Sno, tak lagi menyembunyikan amarah, nada suara yang ia gunakan sama seperti ketika berhadapan pemalak bodoh di halte bus. Rahang dan urat-urat di leher menegang mengikuti adrenalin yang berpacu dalam perlombaan memenangkan piala ketakutan.

"Bagaimana?" Louisa tak mampu berkata lain selain mengeluarkan sebuah keheranan. Melihat Mike mampu terbangun dari serangan yang menyerang mental milik Rose, bukan sesuatu yang bisa dikatakan biasa saja.

"Itu bukan apa-apa. Aku lebih ketakutan jika Pak Peter bunuh diri karena anaknya mati bersamaku!" Mike berusaha berdiri di sela luka yang merembeskan tinta merah, tetap mencengkeram tangan Louisa yang mungkin akan kabur lagi seperti sebelumnya. Memeriksa setiap tempat yang kira-kira memiliki tempat perlindungan darurat, jalan keluar sudah mustahil. Mike harus memastikan mereka berdua atau hanya Louisa bertahan sampai pertolongan datang.

"Mike lepaskan aku!" Berontak Louisa berhasil membebaskannya dari tangan besar. Berjalan mundur sembari memandang dengan sorot mata aneh. "Ini masalahku, jangan ikut campur. Kenapa orang lain begitu khawatir?"

Louisa (SUDAH TERBIT)Onde histórias criam vida. Descubra agora