ADRESTIA

47 1 0
                                    

Rumah Sakit Good Heart. Kota Pallaskaira.

Gadis itu mungkin berumur sekitar 16 tahun-an, tidak mungkin lebih tua dari 18. Ia terduduk lesu di bangku rumah sakit itu, di poli kebidanan. Di tangannya tergenggam koran pagi yang terbaru. Tiada berita bagus ...

Seorang pria ditemukan tewas dengan kepala terpenggal.

Seorang wanita muda ditemukan tewas tenggelam.

Dua pria tewas terjatuh dari lantai 25 sebuah gedung di kota ...

Banyak orang mati tidak wajar akhir-akhir ini. Telah terjadi beberapa kasus dalam seminggu. Pertanda apakah itu?

Gadis itu menghela napasnya dan melipat koran itu. Hatinya berat, sungguh sangat berat. Tumpukan emosi yang tak bisa ia sortir lagi. Marah, kecewa, sedih, takut, malu. Dilarikannya pandangannya ke berbagai sudut poli itu. Poster-poster ibu dan bayi yang tampak begitu bahagia, karena sungguh, apa lagi pencapaian tertinggi dari seorang wanita, selain menjadi sang ibunda? Sang pemberi hidup? Tentulah itu adalah alasan untuk sebuah kebahagiaan hakiki ... kan?

Tidak, tapi tidak begini caranya. Gadis muda itu menggeleng lemah. Jari-jemarinya yang kering, kurus, dan kotor mengelus perutnya yang membuncit. Alasannya berada di poli kebidanan ini.

"Ini! Kamu haus kan? Minum dulu sebelum kau bertemu dokter!" sergah seorang wanita bertubuh tambun berpakaian daster kumal dengan rambut yang dijepit seadanya. Ibunya. Sang ibundanya. Ia menyodorkan teh kotak pada gadis muda itu.

"Habiskan! Aku sudah tidak punya uang sisa untuk membelikan minuman kalau kau masih haus!" sebuah perintah, dingin dari wanita berdaster kembang-kembang itu. Ibunda yang tak pernah benar-benar menjadi ibunda bagi gadis muda itu.

Gadis muda itu menyambut teh kotak itu dan digenggamnya erat. Ia tidak haus.

Sang ibunda berdaster kumal menghempaskan pantat besarnya di kursi tepat disamping gadis itu.

Sebuah pintu terbuka. Gadis muda itu berdoa semoga namanyalah yang dipanggil. Pasien selanjutnya. Ia sungguh tidak betah berlama-lama duduk dengan ibundanya itu.

"Mawar Kirana!" ahhh, gadis itu menghela napas lega. Namanya dipanggil. Ia bergegas bangkit, meninggalkan ibunya yang masih berusaha bangkit dari kursi keras yang sungguh kekecilan untuk tubuh tambunnya itu. "Aku bisa sendiri, Bunda," ucap Mawar disela napasnya.

Sang ibunda mengedikkan bahunya, dan kembali duduk.

Mawar Kirana, gadis itu, bergegas menuju seorang perawat yang menunggunya di pintu itu. Perutnya yang membuncit berhasil memelankan langkahnya.

"Mawar?" perawat itu tersenyum lembut. Mawar mengangguk-angguk. Ahh, perawat itu terlihat begitu cantik dalam balutan seragam putihnya. Mata perawat itu tampak penuh welas asih. Kehijauan. Warna yang unik. Mawar juga ingin sekali jadi perawat kalau bukan karena ...

"Nah, kamu duduk di ranjang periksa itu dulu ya? Dokter Lintang akan sedikit terlambat ..." perawat itu menepuk bahu Mawar lembut sambil satu tangannya menunjuk pada ranjang berwarna hijau pupus tempat pemeriksaan kandungannya akan dilaksanakan.

Adrestia. Nama perawat itu tertera di sebuah pelat kecil di pakaian putihnya.

"Suster Adrestia ..." tanpa sadar Mawar mengulang nama itu. Nama yang indah.

"Ya? Panggil aku Suster Tia saja!" sahut sang perawat dan Mawar tersenyum kering.

Perawat Adrestia membaca file medis Mawar dengan serius.

"Ah ..." ucapnya. Mata kehijauan itu bergerak mengikuti paragraf demi paragraf laporan medisnya.

Mawar menggigit bibirnya keras. Ia ingin menangis sekarang. Perawat itu pasti tahu semua sekarang ...

FROM MY MIND, TO YOURS, WITH LOVEWhere stories live. Discover now