Deux

6 2 2
                                    

Jangan berjalan sendirian! Mungkin jembatan di depan butuh dua pasang kaki, atau butuh dua pasang mata untuk menatap matahari, atau seseorang yang menjaga punggungmu dari makhluk buas. Tidak ada yang bermain jungkat-jungkit sendirian.

.
.
.

Malam, ayah mengunci setiap jendela dan pintu supaya monster kegelapan tak bisa masuk; ibu membelai anak-anak untuk segera terlelap di pembaringan hangat, mengantar dengan penuh kasih ke mimpi-mimpi taman gula-gula juga binatang-binatang lucu bermata besar. Kelap-kelip di permadani hitam menemani sebagai lampu tidur anti hantu, menenangkan jiwa-jiwa malang yang berkelana mencari tempat persinggahan. Untuk sementara atau selamanya.

Louisa memandang plafon putih, merasakan genggaman di tangan kiri yang makin melonggar seiring dengkuran yang makin jelas terdengar. Melirik Peter yang sedang menelungkupkan wajah penuh gurat letih, menggunakan tangan kanannya sebagai bantalan dan tangan kiri menjaga agar sang anak tidak hilang ditelan ranjang.

Terkadang ia tidak mengerti. Louisa, meskipun dalam wujud anak perempuan pendek keturunannya, tetap saja di dalam adalah jiwa orang lain. Apakah orang itu tidak menyadari bahwa ada keanehan yang terjadi pada raga buah hatinya? Di beberapa kesempatan Louisa merasa bersalah telah menyeret orang polos nan lembut seperti Peter ke permasalahannya.

Mual hasil dari perjalanan lintas zaman masih terasa mengaduk-aduk lambung. Tenggorokannya kering diikuti pening di setiap sisi kepala yang menambah kesengsaraan. Sendi-sendi ikut mengerang malas ketika Louisa beranjak duduk. Melihat jarum jam sudah menunjuk angka sembilan, hampir sebelas jam dirinya tak sadar. Tubuh memberontak minta diisi sekaligus setoran rutin ke kamar mandi. Louisa berniat membangunkan Peter, tetapi urung, tak tega mengganggu istirahat berharganya. Ia akan pergi sendirian, walau tempat buang air yang mirip kursi itu sering membuat si bocah kebingungan harus melakukan apa agar kotorannya tenggelam.

Cukup lama Louisa memandang Peter dan menyempatkan mengusap punggung tangan pria baik itu. Jemari lentik berkuku merah muda alami menggeser telapak tangan besar Peter. Mewanti-wanti agar ia tak bergerak sembarang atau sosok di samping terbangun dan memergokinya. Louisa menyipit ketika suara pelan dari gesekan kayu ranjang nyaris membawa pria di sana ke dunia nyata. Menarik selimut yang ia gunakan, setidaknya itu dapat melindungi punggung Peter dari udarah dingin, lantas melangkah menjauh sepelan suara semut seraya bertumpu pada kaki bagian depan.

Siang tadi Louisa belum cukup lama mengeksplorasi lantai dua. Perhatian teralih ke dekat sofa, memandang stoples benda bulat pipih bertabur batu-batu hitam. Tidak seperti yang dibawakan Mike, tetapi rasanya sama-sama enak. Louisa mengangkat bahu seraya mengangguk dan pergi ke tangga, tak lupa membawa beberapa keping kue kering sebesar telapak tangan bayi. Sebelum benar-benar turun, kepalanya berputar. Sekali lagi, mata bunga violanya menyapu seisi ruangan keluarga yang nyaman itu.

Makanan dan kamar mandi ada di dapur. Beruntung tempatnya tak terlalu jauh, begitu sampai di ujung tangga pintu dapur yang terbuat dari kayu dan gagang kuningan, sudah menunggu Louisa---sebetulnya ia hanya menebak-nebak, pintu di seberang kalau tidak salah ada ruangan yang penuh dengan badan-badan boneka.

Kosong, belum ada satu barang pun di dapur. Mustahil makanan ada di ruangan yang hanya ada dirinya. Malam ini Louisa terpaksa melapisi asam lambung hanya dengan kukis.

"Ah." Louisa mendekati keran dan meminum air jernih yang dingin. Membasahi bagian dalam tubuh keringnya dengan benda ciptaan Tuhan yang bernilai itu. Ia juga pergi ke kamar mandi untuk mengosongkan kandung kemihnya yang hampir penuh.

Louisa (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now