23. Ini Obatnya

8.5K 1.7K 364
                                    

Pagiiiiii.

🐳🐳

Pelan sekali, Gagah menurunkan cekalan Sava di lengannya. Geraknya kemudian yang merangkul pinggang Sava membuat ekspresi perempuan itu mendadak dipenuhi keterkejutan.

"Atau masih mau ngobrol sama teman kamu?" Suara Gagah terdengar lebih lembut walau ekspresinya masih tidak terbaca.

Sava mendongak dengan takut. Tatap mereka bertemu beberapa saat dan mendadak ia merasa ciut. Ia tidak mengenal Gagah yang ini. "Mau pulang," bisiknya sambil menunduk.

Gagah mengangguk. Ia menarik kursi tepat di hadapan Jev. Dua sekalian karena Sava tadinya duduk di samping Jev dan kini akan Gagah buat perempuan itu tetap di sampingnya.

"Duduk dulu." Gagah menunjuk kursi di depannya.

Sava sepertinya tidak memiliki cukup keberanian untuk menolak, maka ia segera duduk. Disusul Gagah di sampingnya.

"Tadi panggil saya ke sini ya, Pak?" tanya Gagah dengan senyum yang sama meski hatinya remuk tidak karuan. Ia sedang tidak enak badan, lelah pikiran, ingin mengurangi bebannya saat melihat Sava di rumah ataupun di tempat kerja, tapi yang didapati justru kebalikannya.

"Saya juga panggil Sava ke sini." Jev menyunggingkan senyum miring. Lelaki itu bahkan bersandar santai dengan jemari yang diketukkan di atas meja. "Dan dia langsung mau."

Gagah tertawa pelan. Ia mengulurkan tangan melewati bahu Sava dan mengusapnya pelan. "Iya, istri saya tadi udah izin, makanya saya juga mau ke sini." Sengaja ia tekankan status Sava di sini.

"Oh." Jev seperti terkejut, tatap tajamnya kini terarah begitu mengintimidasi ke Sava seolah menanyakan kebenarannya. Namun Sava justru memeluk lengan Gagah makin erat.

"Maaf, Pak, sebelumnya." Gagah berujar lagi dengan sopan. "Kalau boleh, bahas tentang pertemuan di luar kota kemarin bisa kita bicarakan di kantor nanti kalau sudah jam kerja. Kayaknya saya butuh waktu buat bebersih diri dulu sampai rumah. Nggak sopan kalau penampilan saya begini di depan bos." Diakhiri dengan tawa.

"Oke." Jev tersenyum tipis dan mengangguk. Ia duduk tegak dan menautkan dua tangannya di atas meja. "Take your time. Kamu bisa pulang dulu, biar saya dan istri kamu nunggu di sini."

Seolah tidak mendengar nada ancaman itu, Gagah malah terkekeh pelan. "Pak Jev pernah telepon istri saya tengah malam dan saya bilang kalau ada hal penting bisa disampaikan lewat saya."

"Tapi urusan saya sama Sava."

"Dan Sava adalah urusan saya, Pak Jev." Gagah menekankan itu sekali lagi. Tatapnya sudah tidak terlihat santai, kini membalas dengan berani.

"Biar adil, coba tanya Sava mau ikut kamu atau stay di sini," tantang Jev.

Gagah menaikkan alis lalu tersenyum kecil mencoba melunturkan ekspresi tajamnya tadi. Ia menoleh ke Sava dan mengangkat satu tangannya untuk membelai wajah istrinya. Ia sadar ekspresi ketakutan yang Sava tunjukkan jadi ia berusaha menekan kuat-kuat amarahnya. "Mau di sini sama teman kamu atau ikut aku pulang?" tanyanya lembut.

"Ikut kamu," jawab Sava tanpa pikir panjang.

Mendengar jawaban itu membuat Gagah kembali menatap Jev dan tersenyum. "Udah seharusnya istri ikut suami bukan ikut mantan. Permisi, Pak Jev."

Gagah berdiri, mengajak Sava ikut serta.

"Kali ini kamu emang menang, tapi—"

"Saya nggak niat bersaing," sentak Gagah langsung. "Saya menikahi Sava bukan buat ajang menang dari orang lain."

Fishing YouWhere stories live. Discover now