Camilan Persahabatan

6 1 0
                                    

Lavina mempercepat Langkah tanpa menoleh ketika melewati rumah berwarna dominan kelabu itu. Dalam hati ia berdoa, semoga saja anak-anak yang sering menggodanya itu tidak melihatnya lewat.

"Hai, kalo jalan cepet amat! Baru ganti baterai, ya?"

Suara itu masuk ke gendang telinga Lavina. Tanpa menoleh Lavina tahu, ucapan itu ditujukan untuknya.

"Hush, memangnya dia mainan yang bisa diisi ulang baterainya," terdengar suara lain yang menyahut.

"Lah dia jalannya cepet banget gitu, pasti habis diganti baterainya."

"Hahahaha..," mereka tertawa terbahak-bahak bersama. Tertawa mereka terlihat sengaja dibuat-buat, batin Lavina.

Langkah Lavina semakin lebar, hingga ia tak melihat jalan yang ia tapaki. Tiba-tiba...

"Aduh.." Pekik Lavina. Kakinya tersandung batu yang lumayan besar.

Kelima anak tersebut semakin tertawa lebar dan jahil dengan kata-kata yang lucu.

Dengan sergap, Lavina bangkit dan berlari. Meringis menahan rasa perih pada lututnya. Untung saja tidak terluka parah.

Begitu sampai di rumah, Lavina terduduk di teras dengan nafas tersenggal-senggal. Lavina menghembuskan nafas kesal sambil mengelus lututnya itu.

Kenapa sih anak-anak itu harus mengganggu setiap aku lewat? Kan aku enggak ada salah sama mereka, keluh Lavina dalam hati.

Lavina mengenal kelima anak itu. Mereka semua adalah tetangga Lavina. Lavina memang warga baru di kompleks perumahan itu. Belum ada satu bulan, keluarganya pindah ke rumah yang mereka tempati sekarang.

Yang paling membuat Lavina heran, setiap ia akan berangkat sekolah, kelima anak itu pasti sudah ada di depan rumah mereka untuk mengganggu Lavina. Begitu pula ketika Lavina pulang sekolah.

Apa iya mereka tidak bersekolah? Padahal, menurut dugaan Lavina, mereka berlima itu sebaya dengan dirinya. Jadi, seharusnya mereka juga sekolah, sama seperti dirinya.

"Sudah pulang, Lav?" suara lembut itu menyapa gendang telinga Lavina. Bunda.

"Barusan, Bunda,"

"Kenapa kamu duduk di situ? Masuk dan ganti seragammu, lalu makan siang, ya,"

"Istirahat dulu, Bunda. Lav masih capek,"

"Anak-anak itu masih saja mengganggumu?" tanya Bunda. Semalam Lavina memang sudah bercerita dengan Bunda bahwa dia selalu diganggu anak-anak itu setiap kali melewati jalan tersebut.

Lavina mengangguk.

"Kan, Bunda sudah bilang sama kamu, kalua mereka mengganggu kamu lagi, kamu harus menyapa mereka dengan ramah. Sebenarnya, mereka ingin berkenalan denganmu. Mereka hanya malu untuk memulai. Sebagai orang baru, kamu yang harus memulai memperkenalkan diri."

"Ihh, biar apa Lavina harus kenalan sama anak-anak kasar itu? Apalagi mereka laki-laki semua."

"Kamu kan belum kenal mereka. Jangan langsung menilai mereka begitu, ih. Nggak sopan."

"Besok pagi Lavina berangkatnya lewat jalan memutar saja. Biar nggak lewat depan rumah mereka lagi."

Bunda terdiam, lalu akhirnya tersenyum. Sepertinya Bunda punya ide, supaya Lavina tidak digoda oleh anak-anak tetangga itu lagi.

"Sudah-sudah, sekarang kamu masuk, ganti baju, lalu makan siang," ucap Bunda lembut.

***

Sore sehabis mandi, Bunda mengambil sekotak camilan ringan dari lemari penyimpanan. Camilan ringan itu buatan Bunda sendiri. Camilan buatan mama paling enak, bola-bola salju salah satu favoritnya.

"Sekarang kamu bawa camilan ini ke rumah anak-anak yang suka menggodamu itu. Sekalian kamu berkenalan sama mereka. Bunda jamin, besok mereka tidak mengganggumu lagi."

"Ih, Bunda menyuruh aku buat menyuap mereka?"

"Bukan menyuap, sayang! Kalau sudah saling kenal, pasti mereka tidak akan mengganggumu lagi. Camilan ini sekedar buah tangan. Yah, supaya perkenalan kalian tidak kaku nantinya. Ngobrol sambil makan camilan kan menyenangkan."

Akhirnya Lavina membawa sekotak camilan itu menuju rumah berwarna kelabu itu. Awalnya Lavina ragu, pun ketika melihat kelima anak itu sedang duduk di depan rumah.

Lavina mendekati mereka sambil tersenyum manis.

"Hai, aku tetangga baru kalian. Namaku Lavina," ucap Lavina dengan ragu-ragu.

Sesaat kelima anak itu terkejut dengan kehadiran Lavina. Namun, mereka langsung tersenyum dan memperkenalkan diri mereka satu persatu. Nama kelima anak itu, antara lain Ares, Nanda, Surya, Nata, dan Aldo. Mereka berlima adalah saudara sepupu yang tinggal bersama dengan kakek dan nenek mereka di rumah itu.

"Ini aku bawa camilan. Kita makan sama-samanya, yuk," ajak Lavina.

"Wah, camilan? Kamu baik sekali! Siapa tadi Namanya? Lina?" tanya Ares.

"Lavina," sahut Aldo.

"iya itu lah pokoknya."

Lavina tersenyum.

Mereka menikmati camilan sambil bercerita dan tertawa. Baru berkenalan, sudah terlihat akrab dan ceria.

Keesokan harinya, Lavina melangkah dengan ragu ketika melewati rumah berwarna kelabu itu. Jangan-jangan mereka masih mengganggunya lagi.

"Hai, Lavina. Berangkat sama-sama, yuk!"

Lavina menoleh. Terlihat Ares, Nanda, Surya, Nata, dan Aldo juga mengenakan seragam yang sama seperti yang dikenakan Lavina.

"Wah, kita satu sekolahan?"

"Iya. Kami kelas XI IPS, satu tahun di atasmu. Kamu saja yang sombong, nggak mau kenalan sama tetangga. Makanya kami selalu mengganggumu." Ucap Nata panjang lebar yang lebih terlihat seperti mengomel.

Lavina tersenyum dan teringat oleh ucapan Bunda. Benar kata Bunda.

Terima kasih camilan persahabatannya, Bunda. Ucap Lavina dalam hati.

*** 












Hai reader, apa kabar kalian? Minca kembaliii ^^

Long time no c, do u miss me? ^.^ Canda


Salam hangat 

Author manis

Camilan PersahabatanWhere stories live. Discover now