#9_Doubt

3 0 0
                                    

Hari-hari terus berlalu, tanggal festival seni dan minggu ujian semakin dekat, begitu juga dengan Deus dan Cia. Mereka seakan tak terpisahkan sekarang, bahkan dalam kantin yang ramai, gandengan tangan keduanya tidak lepas sedetik pun. Jujur, di titik ini aku semakin malas masuk sekolah, aku bahkan hampir mengundurkan diri dan memilih untuk membatalkan penampilanku. Namun Helios tidak setuju, ia ingin aku tetap tampil, dengan atau tanpa MAM-0097.

"Gue mau duduk sama Ravin, lu sama Louis aja sono biar sekalian pdkt," ucap Helios sembari menyikut lenganku. Berkatnya, kuah bakso yang aku bawa dalam mangkuk hampir tumpah. "Whoopsie, sorry."

"Gue ga boleh duduk bareng kalian berdua gitu?"

"Ga. Bye, bitch!" Helios meninggalkan aku sebelum aku dapat melontarkan protes lain. Lelaki itu menyenggol banyak sekali orang dalam perjalanannya menuju tempat yang diduduki Ravindra. Entah kenapa Helios bersikeras mendekati dirinya, padahal Ravin jelas-jelas pernah mengatakan bahwa ia straight. Walau tingkah dia menunjukkan yang sebaliknya.

"Gue duduk sini, ya?" tanyaku pada Louis yang duduk sendirian di sebuah bangku panjang. Louis mengangguk sebagai respon, ia menggeser makanannya sedikit supaya aku bisa meletakkan mangkuk bakso dan minumanku. Awalnya ada banyak perempuan yang duduk di sini, bergelantungan pada lengannya dengan manja, namun kini tersisa Louis sendirian. Aku percaya gadis-gadis itu tidak kuat menahan dinginnya Louis.

"Fix undir?"

"Ngga, gue masih belom yakin. Helios berkali-kali bilang kalo lu mungkin bisa nemenin gue tampil, tapi kan gue masih butuh setidaknya... I don't know, a whole fucking band?" Dari sudut mata, aku dapat menemukan dua gadis pemandu sorak melemparkan pandang sinisnya padaku. Dorothy dan Iessica. Kelihatannya mereka iri karena Louis belum mengusirku sejauh ini. Sementara mataku bertengkar dengan remaja-remaja labil itu, Louis melipat tangannya usai merapikan jajanan yang ia makan beberapa detik lalu.

"Ga perlu, pinjem keyboard sekolah aja." Aku mengerutkan kening mendengar itu, dia tahu bagaimana aku tidak bisa memainkan alat musik apapun, terutama piano atau keyboard. Aku baru saja akan mengajukan bantahan, tapi Louis memotong dengan perkataan, "Gue yang main, lu tinggal nyanyi."

"Are you sure about this?"

"One hundred percent, pourquoi?" Aku menggelengkan kepalaku, takut untuk menjawab kenapa. Selama ini alasan keraguanku ialah Cia, dirinyalah satu-satunya faktor pendorongku untuk tampil dalam panggung itu. Aku ingin tampil bersamanya, seperti dulu ketika kami masih berpacaran. Aku rindu suaranya, aku rindu momen-momen di belakang panggung dan latihan melelahkan yang kami lewati bersama. "Oh, I get it. Lu pengen bareng Cia, dan bukan gue, ya kan?"

"Lu ngga salah, tapi gue udah terlanjur daftar dan..." Jeda sebentar. Sekali lagi kupikirkan kelanjutan perkataan, takut Louis akan kecewa dan turut kehilangan harapan.

"Dan?"

"Gue pengen lagu gue didenger Cia," lirihku. Aku tidak peduli respon apa yang akan ditunjukkan Cia pada hari pensi nanti, aku hanya ingin mencurahkan segala rasa yang aku simpan, lagipula kini Deus dan aku tidak lagi berdamai, I've got nothing to lose.

"So, are we doing this shit?"

Aku mengangguk, memberikan senyum kecil pada Louis, lalu membiarkan diriku menghabiskan makan siang yang kuambil. Begitu kami berdua selesai dengan makanan kami, aku dan Louis berpisah untuk mengembalikan piring serta gelas kotor ke tempatnya. Kubiarkan Helios sendirian dengan Ravin, mereka mungkin butuh lebih banyak waktu. Aku dan Louis pun berjalan berdampingan menuju kelas seusai istirahat. Namun, jalan kami terhenti berkat seorang wanita muda dengan sorot tatap seram. Maestra Hilda.

"Pulang sekolah kumpul di kelas saya, ada tugas tambahan."

Moving O-notWhere stories live. Discover now