#8_Principal Office

3 0 0
                                    

"Dios Sergia, Deus Sergia." Seorang pria berperawakan tinggi memanggil aku dan saudara kembarku, ia berdiri di depan pintu ruang kepala sekolah dengan senyum terus berhias di wajahnya. Aku dan Deus berjalan berdampingan menuju ruangan tersebut, Deus masih mengelus punggung tangannya yang dilapisi perban tipis, sedangkan aku mencoba begitu keras untuk menahan malu.

Murid-murid yang berlalu-lalang di lorong luas memperhatikan kami. Aku tidak kuasa menahan diri untuk tidak menguping ucapan mereka, banyak yang beranggapan bahwa aku begitu kejam, ada yang bilang kalau Deus sial sekali karena harus sedarah dengan setan sepertiku. Dios Sergia memang tidak jarang keluar masuk ruang Kepala Sekolah, tapi apabila saudara kembarnya ikut serta? Pasti ada masalah besar. Itulah kesimpulan yang bisa kudapatkan dari ucapan-ucapan mulut sampah murid sekolah menengah atas.

Laki-laki tadi menutup pintu di belakang kami ketika aku dan Deus telah duduk manis di kursi yang disediakan pihak sekolah. Persis di hadapan kami sosok Madam Scarlette dengan senyuman masamnya. Dia menyatukan tangan seperti cara berdoa orang-orang Kristen sebelum menghela nafas panjang. Raut Deus tampak biasa-biasa saja saat menghadapi Kepala Sekolah, sebab aku yakin yang akan dipaksa meminta maaf adalah aku, dan aku yang harus mengganti rugi alat-alat musik yang kurusak itu.

"Deus, boleh kamu jelaskan gimana ceritanya kamu bisa dapet luka itu?"

"Saya sama teman-teman band lagi pemanasan buat latihan pensi, kita ngobrol-ngobrol. Ngga lama Dios dateng, saya samperin dia biar latihannya cepet mulai, tiba-tiba saya dicakar. Begitu, Madam." Aku mengepalkan telapak tanganku di bawah meja, berusaha sekuat tenaga untuk tidak meninju wajahnya. Deus, dengan tampang tak bersalah palsu yang ia pasang, menatap aku tepat di mata. Tidak lama kemudian, suaranya dibuat lirih dan ia berkata, "Kamu kok tega sih?"

"Kamu kok tega sih?" Kubalas ucapan Deus dengan pertanyaan yang sama, kutekankan kata 'kamu' untuk menyadarkan dirinya bahwa ia yang memulai permasalahan di sini. Madam Scarlette tampaknya jeli akan perubahan ekspresiku, ia berdeham, membuat aku dan kembarku memusatkan perhatian kembali padanya.

"Saya yakin kalian berdua sudah bisa memilih mana yang salah dan benar, kalian sudah menginjak 17 tahun," ucap wanita murah senyum itu. Aku mengalihkan pandang ke arah foto-foto lama yang dipajang di dinding ruangan, sedangkan Deus kuperhatikan masih sibuk mengelus perbannya. Aku tahu, dia hanya ingin membuat aku semakin terlihat salah. "Sekarang saya tanya, kalian berdua harus apa?"

"Minta maaf."

"Ganti rugi," selaku. Jawabanku tidak dihiraukan Kepala Sekolah, wanita bersurai hitam tersebut mengangguk pada Deus. Senyum masih terhias jelas pada wajahnya.

"Persoalan biaya, kita bisa hubungi orang tua kalian." Reflek, membelalak mataku mendengarnya. Aku panik, aku takut orang tuaku akan marah, aku bisa saja dipindahkan. Atau lebih buruk lagi, uang harianku dipotong setengah.

"Madam, saya mohon jangan bilang ortu saya, tambahin aja biayanya ke uang sekolah."

Madam Scarlette menggelengkan kepalanya, lalu berkata, "Biaya harus ditanggung dan dibayar orang tua secepatnya." Aku mengerutkan kening sebagai respon. Ingin rasanya mengajukan protes lain, namun keputusan Madam Scarlette sudah bulat, tak ada yang bisa aku lakukan. "Sekarang, jabat tangan Deus dan minta maaf yang tulus."

"Tapi saya ngga salah—"

"Minta maaf, lalu keluar dari ruangan saya." Ucapannya begitu seram, dan semakin mengerikan karena ia berujar demikian dengan senyum lebar serta sorot mata tajam. Tidak memiliki pilihan lain, aku berdiri, kuulurkan tangan pada Deus, lalu menunggu sampai ia melakukan hal yang sama.

Remaja itu bangkit dari kursinya, senyum kemenangan terlukis indah pada wajah jeleknya. Ia menjabat tanganku sembari aku berkata, "Aku bener-bener minta maaf, semoga hal ini ngga terulang lagi."

"Nah, gitu dong! Sekarang pelukan, Madam kangen momen kalian."

Deus merentangkan tangannya untuk memeluk tubuhku, aku masih kesal sehingga punggungnya hampir kupukul keras. Tapi aku mengurungkan niat, kubiarkan ia melingkarkan tangan kecilnya padaku selama beberapa saat. Dipikir-pikir lagi, sudah lama kami tidak berpelukan seperti ini. Aku rindu kehangatannya, tapi kini aku terlanjur membenci dia.

Usai berpelukan, kami bercakap-cakap sebentar tentang apakah aku masih diperbolehkan mengikuti pentas seni ataukah tidak. Jawabannya boleh, dengan syarat MAM-0097 tidak tampil bersama-sama dengan aku, dan posisiku sebagai vokalis harus digantikan oleh Yoshua. Jujur, aku kesal, sangat kesal. Tapi ini demi yang terbaik, jika aku harus berada dalam ruang yang sama lagi dengan band sialan itu, aku mungkin akan membakar mereka hidup-hidup.

"Biaya ganti rugi ngga usah kalian pikirin, sekarang kalian boleh keluar."

Percakapan kami ditutup dengan perkataan Madam Scarlette barusan. Aku dan Deus pun bangkit berdiri untuk menyalami Madam Scarlette, kami berpamitan dan berucap terima kasih. Asistennya membukakan pintu, menunjukkan lorong luas penuh anak-anak. Amarahku belum surut, sehingga ketika seseorang bertanya kapan aku akan dikeluarkan dari sekolah, aku hampir melempar kursi agar ia tidak bisa berjalan lagi. Namun sebelum aku dapat melakukan tindakan tak terpuji tersebut, Helios menghampiri aku.

Ia menarik aku jauh dari jangkauan telinga saudara kembarku. Setelah dapat memastikan kami aman, ia berkata, "Lu masih mau tampil di Art Festival kan? Gue tau siapa yang bisa bantu."

"Emang ada yang masih mau temenan sama gue selain lu?"

"Louis."

Moving O-notWhere stories live. Discover now