#4_Trading Jackets

3 0 0
                                    

Murid-murid berhamburan memasuki kelas mereka masing-masing usai pengumuman Madam Scarlette disampaikan sepenuhnya. Jumat itu, mata pelajaran pertama yang harus aku hadapi ialah Bahasa Spanyol, dan aku harus bertatap muka dengan Maestra Hilda, pemudi galak yang kebetulan dicintai semua orang. Aku benci pelajarannya, ditambah lagi ketidakadaan Cia di kelas ini membuatku semakin malas mengikuti materi.

"Loui, pindah ke depan, duduk di samping Dios." Entah apa yang terjadi, tiba-tiba wanita berpenampilan setengah baya yang meminta disebut maestra itu menunjuk kursiku, menyuruh seorang murid berperawakan tinggi besar untuk duduk denganku. Louis namanya, dia cukup terkenal di kalangan murid perempuan, dan aku dengar dia teman baik Missus Teo.

"Kebanyakan bengong sih," ujarku, memulai percakapan di antara kami. Walau banyak murid yang berusaha mengejar dia, belum ada yang bisa benar-benar berbicara dengannya, beberapa tidak tahan dengan caranya bicara, yang lain bahkan mengaku hampir mati karena tatapan Louis terlalu tajam. "Hi, gue Dios."

"Louis," dia menjawab. "Lu juga bawel."

Ucapannya membuat aku melepas tawa kecil, yang mengundang sorot tajam Maestra Hilda. Tapi siapa peduli? Setidaknya aku punya teman sebangku sekarang. Mengerjakan soal bahasa asing yang tak kupahami sama sekali sendirian sungguh tidak mengenakkan, namun sekarang aku memiliki Louis sebagai teman seperbodohanku dalam kelas Spanish

"Temen deket Sean kan? Lu bisa main apa aja?"

"Guitar, bass, keyboard, piano, drum, you name it." Aku menganggukkan kepala sebagai respon. Tak heran banyak perempuan jatuh hati padanya, tapi ada sesuatu yang membuatku yakin bahwa tidak akan ada perempuan yang bisa mendampingi ia. Aku melamun sebentar, tanpa sadar pikiranku melayang pada Cia, remaja itu juga pandai memainkan alat musik. Aku rindu padanya. Namun, sebelum aku tenggelam lebih dalam, Louis balik bertanya, "Lu?"

"I can play the maracas, I guess." Aku mengedikkan bahu, dan aku bersumpah lelaki itu baru saja membalas dengan dengusan, dari sudut mata kutemukan senyum kecil mengembang di wajahnya. "We would make good friends."

Kami berbincang sepanjang pelajaran, Maestra Hilda beberapa kali menegur kami. Maaf maestra, tapi dirimu harus berusaha lebih keras untuk menghentikan mulut ini bicara. Aku dan Louis memiliki banyak kesamaan, dan mungkin saja dia bisa membantu aku dalam berpartisipasi pada festival seni akhir bulan ini. Sampai tiba-tiba Maestra Hilda melontarkan sebuah pertanyaan pada Louis, "Cuál es tu nombre?"

"Um, je ne comprends pas." Murid-murid dalam kelas pun tertawa. Menyadari Louis menjawab dengan bahasa Perancis—bukannya Spanyol—perlahan kutepuk lengannya dan kubisikkan jawaban benar. Namun lelaki itu menolak dan malah melanjutkan, "Odio tu clase, Maestra."

"Kalian berdua, keluar dari kelas saya!" ucap wanita itu setelah mengeluarkan helaan nafas panjang. Aku sudah terbiasa, jadi kulambaikan tanganku sebagai bentuk ajakan ke luar kelas, tak ada protes atau belaan. Louis tampak kebingungan, ia sempat menolak ajakanku dan hendak mengajukan protes, namun setelah mendapat satu teriakan lagi dari si guru, lelaki itu menurut.

"Gracias, Maestra!"

☆★☆

Aku dan Louis berdiri di pinggir lorong, mengawasi warga sekolah lalu-lalang sambil memasang senyum konyol bila ditanya. Louis tampak kagum usai menyaksikan betapa terbiasanya aku dengan situasi seperti ini, sedari tadi ia hanya mengangguk-angguk setiap aku mengajarinya beberapa tips bolos kelas.

"Itu mantan lu kan?" Sontak jantungku berdegup kencang, kucari ke mana arah Louis memandang, dan begitu kutemukan dirinya, badai melanda kepalaku seketika.

"Jaket Deus."

Moving O-notWhere stories live. Discover now