Dua Puluh Sembilan - Tak Boleh Bertemu Roma

Start from the beginning
                                    

Terdengar suara benda dipukul dan selama beberapa detik semuanya hening. Aku masih belum berani membuka mata. Bagaimana kalau kecoak itu masih ada dan langsung hinggap di wajahku saat membuka mata?

"Cassie? Lo nggak apa-apa?" Suara itu terdengar khawatir.

"Hmm ...." Aku masih tidak berani membuka mata, gemetaran dan tidak mampu bicara.

"Met, minta tolong beresin ini. Gue bawa Cassie dulu." Seseorang membawaku pergi.

"Lo bisa buka mata, Cassie." Suara itu lembut menenangkan.

Kubuka mata perlahan dan menatap Baron yang sedang memandang dengan khawatir. Dia berdiri, mencuci tangan sebelum membuatkan secangkir teh panas. Beberapa kali matanya melirikku.

"Lo takut sama kecoak, Cass?" tanya Baron lembut setelah menyuruhku menghirup teh. Aku hanya bisa mengangguk dengan mata berkaca-kaca.

"Jangan ketawa," bisikku.

"Akhirnya gue punya rahasia lo juga." Baron tersenyum penuh kemenangan sementara aku hanya bisa tersenyum masam.

"Lo kok bisa ada di situ?" tanyaku heran. Jantungku sudah berhenti berdebar ketakutan.

"Gue lagi mau ke pantry pas Mamet jerit-jerit keluar ruangan. Itu anak berisik banget." Baron menggeleng-geleng saat teringat Mamet yang menjerit sambil lari tunggang langgang meninggalkanku ketakutan.

Sepuluh menit kemudian, aku berjalan kembali menuju ruangan. Meja Mamet sudah bersih. Seorang cleaning service membantu untuk mengelap setiap jengkal meja anak itu sampai bersih.

"Kalau masih kotor, buang saja sekalian anak ini, Mbak," kata DJ pada petugas cleaning service sambil mendelik pada Mamet.

"Lo gitu banget sih," kata Mamet memelas.

"Lagian jorok, sih! Lo nggak liat tadi Kak Cassie sampai nyaris ngompol karena ketakutan. Terus hampir separuh karyawan datang ke sini karena lo teriak-teriak. Teh yang gue bawa sampai tumpah gara-gara lo tabrak." DJ terus mengomel. Aku baru melihat kalau kemeja DJ memang sedikit basah. Untungnya dia memakai kemeja hitam.

"Maaf, Kak." Kali ini Mamet berpaling ke arahku.

Aku hanya melambaikan tangan lalu duduk dengan hati-hati sambil menoleh kanan kiri. Tidak mau mengambil resiko bertemu dengan kecoak lagi di ruangan ini.

"Tadi kenapa Kakak nggak teriak?" tanya DJ yang sedang menekan-nekan kemeja basahnya dengan tisu.

"Aku takut kalau teriak kecoaknya masuk mulut," jawabku pelan. Ruangan langsung sunyi.

Beberapa detik kemudian, Mamet tertawa disusul oleh DJ. Mereka berdua terbahak sementara Baron memalingkan wajah. Tahulah aku kalau mereka sebenarnya menahan tawa selama ini.

"Kak Cassie tadi lucu banget. Mulut sama matanya ditutup rapat-rapat." Cengiran khas DJ yang jarang terlihat, rasanya sekarang dijual murah.

Wajahku memerah karena kesal bercampur malu. Baron yang tadi menolong ternyata juga menertawaiku. Entah mengapa hal itu membuatku semakin kesal tetapi tidak bisa berkata apa-apa.

"Stop! Oke?" Akhirnya setelah lima menit, aku tidak tahan lagi untuk menghentikan tawa mereka. Tepat saat itu Ai masuk. Gadis itu bertanya apa yang terjadi dan Mamet dengan senang hati mengulang ceritanya.

"Sekarang Kak Baron nemuin satu kelemahan Kak Cassie. Soalnya kalau kaku itu bukan kelemahan, tapi kelebihan. Kelebihan dijemur jadi kaku kaya kanebo kering," tawa Ai. Wajahku semakin terlipat ketika mereka kembali tertawa.

"Kaya Baron nggak punya kelemahan saja," cibirku masih kesal.

"Nggak mungkin! Selama kami di sini Kak Baron itu nggak punya kelemahan," bela Mamet.

Pembelaan Mamet membuatku kesal. Mereka mulai membahas semua kelebihan Baron sampai aku marah apalagi ketika laki-laki itu mengulum senyum sambil melirikku seolah mengejek.

"Dia punya kelemahan juga." Ucapanku membuat ketiga anak magang menoleh bersamaan.

"Nggak ada!" tukas Ai.

"Kalau visual dyslexia bukan kelemahan terus itu apa?" tantangku. Ruangan seketika sunyi. Ketiga anak magang itu memandangku dan Baron yang sekarang melipat tangan di dadanya.

"Bohong!" Kali ini Mamet yang berseru. Aku hanya mengangkat bahu sementara Baron tersenyum kecil.

"Itu benar! Aku memang memiliki visual dyslexia. Ini adalah bolpoin yang bisa merekam. Kalau-kalau ada rapat yang mendadak harus dihadiri dan kondisiku tidak memungkinkan untuk membaca semua huruf." Baron masih saja berkata tenang sambil menunjuk bolpoin yang selalu dia bawa, seolah tidak terpengaruh dengan tatapan terkejut para anak magang.

Ada sesuatu yang tidak nyaman dalam dadaku ketika mendengar Baron menjelaskan tanpa terintimidasi. Dia bahkan tersenyum meskipun tidak secerah biasanya. Ai tiba-tiba saja menoleh ke arahku. Matanya kali ini berkilat-kilat.

"Kakak jahat! Hal seperti itu seharusnya nggak diumbar begitu saja!" seru gadis berpipi merah itu.

"Kak Baron nggak ngomong apa-apa tapi kakak langsung bicara tentang itu." Ai tampak ingin menangis.

"Aku nggak ada masalah, kok," ujar Baron. Matanya berkeliling menatap semua anak magang.

"Diskleksia itu bukan aib," katanya lagi.

"Tapi Kak Cassie nggak boleh seperti itu. Kaya nggak punya integritas saja. Kalian katanya bersaing secara sehat, tapi kok kaya gini?" Ai terlihat sangat marah padaku. Wajahnya sampai merah padam.

Rasa tidak nyaman yang kurasakan semakin membumbung. Suasana ruang kerja yang tadi penuh tawa kini mendadak mencekam. Ucapan Ai diikuti anggukan Mamet dan DJ yang juga memandangku dengan tatapan meremehkan. Ini seperti mundur ke titik nol di mana Baron selalu berkata kalau aku tidak memiliki kompetensi sebagai asisten manajer.

***

Catatan Peribahasa:

Tak boleh bertemu roma = Selalu berselisih (bertengkar)

The Differences Between Us (Completed) Where stories live. Discover now